MMPP! 2

12.3K 420 1
                                    

Valerie mendatangi kamar kakak sulungnya, biasanya dalam beberapa hal pria itu mau membantunya. Paling dewasa dan sangat mengerti perasaan adik perempuannya.

"Abang, tolong bilang sama papa supaya papa mau ubah syarat untuk aku." ujar Valerie, mendaratkan bokong di kasur luas Vino.

Pria tiga puluh tahun yang dalam hitungan bulan melepas masa lanjang itu hanya menatap santai pada sang adik. "Ikuti ajalah. Enggak akan ada toleransi untuk yang satu itu, aku enggak bisa bantu."

"Bang..." Valerie mengguncang pundak kokoh Vino. "Teman-teman aku udah pada sukses, sementara aku belum punya apa-apa!!"

"Kerja. Mau kerja dikantor abang?"

Valerie menggeleng. "Aku mau punya butik, enggak mau jadi karyawan kantoran."

"Ya, udah, ikuti aturan main papa. Kamu minta cepat, 'kan? Enggak mau syarat umur dua puluh lima seperti abang sama Abang Virgo, 'kan?"

Valerie mengangguk lemah. Iya, tadinya dia request pada Beno agar diberi modal sebelum usia dua puluh lima tahun, tapi Valerie tidak menyangka jika syaratnya akan lebih berat.

"Ah, abang enggak asik!!" sebal Valerie. "Nyebelin, semoga batal nikah!!" Valerie langsung berlari keluar kamar tanpa mengindahkan umpatan abangnya yang super kesal dengan sumpah serapah adik sialnya tersebut.

***

Tidak mau kalah dengan keadaan, Valerie kembali merayu kakak keduanya, Virgo. Usia Virgo yang hanya terpaut empat tahun dari Valerie, membuat mereka acap kali bertengkar manja untuk hal-hal kecil yang sebenarnya sangat tidak penting. Tapi Valerie butuh bantuannya kali ini.

"Cakep banget abang aku ini." puji Valerie yang hanya manis di bibir saja.

Virgo mengerutkan kening bingung dan agak ngeri karena Valerie yang mendadak manis padanya. "Sawan, Val?"

Memamerkan deretan giginya, Valerie bersikap sok manis. "Bang, aku doain semoga kamu cepat dapat jodoh dan nyusul Abang Vino untuk nikah."

"Amin." sahut Virgo. Mubazir jika doa baik dilewatkan begitu saja.

"Bang, tolong, dong..."

Refleks Virgo menjitak pelan kening Valerie. "Kebiasaan. Baik kalau cuma ada maunya doang!!"

"Demi kebaikan dan kesuksesan adikmu ini, bang."

Virgo berdehem dan mengangguk. "Tolong apaan?"

"Bilang sama papa untuk ubah syaratnya. Aku butuh banget modal usaha dari warisan yang akan dia kasih, tapi aku enggak bisa punya anak dalam waktu dekat."

Virgo mengangkat dua tangannya ke atas layaknya tawanan yang menyerah karena sudah tertangkap basah. "Enggak ikut-ikutan, deh."

Valerie mencebik kesal. "Bang... Ayolah..."

"Enggak, Val. Perusahaanku sendiri masih goyah, belum stabil, masih amatir dan pemula. Ntar kalau aku enggak nurut, bisa-bisa diganggu sama papa."

"Kata orang punya abang itu enak. Kok, aku enggak merasa begitu, ya?" sindir Valerie.

"Enaklah punya abang!! Kamu dari kecil selalu dimanja, diperlakukan seperti princess, di—"

"Talk to my hand!" sentak Valerie, kemudian pergi dari hadapan Virgo. Abangnya itu hanya membela dan mengamankan diri sendiri saja tahunya.

***

Beberapa hari belakangan ini Valerie penat oleh syarat yang diajukan sang ayah. Ia selalu mencari cara yang sayangnya sangat sulit ia dapatkan pemecahannya. Untuk melupakan masalah tersebut—setidaknya sejenak—ia memilih datang ke salah satu club night yang memang biasa ia datangi.

"Tumben beberapa hari kamu enggak muncul?"

Valerie melirik sekilas pada Gladys yang baru bergabung di sampingnya, lalu tatapan Valerie kembali pada segelas sampanye yang sudah dia pesan namun tak kunjung diteguk.

"Lagi ada masalah?" tanya Gladys lagi. Tidak biasanya Valerie dalam mode diam.

"Enggak." Valerie malas bercerita dengan orang yang sudah mulai mabuk, sebab jawabannya pasti akan melantur.

"Cerita aja, aku masih sadar kok." tutur Gladys seolah memgerti alasan enggannya Valerie.

Valerie memutar kursi bar yang ia duduki ke arah samping, Gladys melakukan hal yang sama hingga mereka berhadapan. Tanpa menghiraukan dentuman musik yang menggema, Valerie akhirnya bercerita dengan sahabat dekatnya itu.

"Papa belum mau kasih bagian warisannya untuk aku. Dia punya syarat,"

Gladys mengangguk paham. "Memang apa syaratnya? Usia dua puluh lima tahun seperti abang-abang kamu?"

"Tadinya begitu, tapi terlalu lama. Usiaku bahkan baru dua puluh dua tahun, jadi aku minta syarat berbeda. Sialnya, syarat yang ini lebih sulit."

Gladys yang tidak benar-benar dalam kondisi sadar seratus persen sadar, merasa bingung dengan ucapan Valerie yang terlalu berputar-putar. "Intinya?" tembak Gladys.

"Papa mau aku punya anak."

Gladys tertawa tebahak-bahak mendengarnya. Valerie memiliki anak? Oh, itu sangat mustahil.

"Bahkan kamu enggak pernah serius berpacaran, lalu siapa yang akan menikahi kamu dan menghamili kamu dalam waktu dekat?" heran Gladys masih belum juga menghilangkan tawanya.

"Itu juga yang aku pikirkan..." Valerie menghembuskan napas lelah.

"Bagaimana kalau adopsi?" saran Gladys.

"Mana mau!! Papa maunya aku punya anak melalui proses hamil, kemudian melahirkan seorang bayi. Cucu kandungnya."

"Cari pacar, terus minta dinikahi."

Valerie mencebik. Memang tidak ada gunanya curhat dengan Gladys, tidak ada masukan yang benar-benar membantu. Mencari pacar, menikah, lalu hamil dan melahirkan bukanlah proses yang mudah. Apa lagi di zaman sekarang ini, mencari laki-laki yang mau mengajak seorang gadis untuk ke jenjang yang serius... itu sangat langka. Pria kebanyakan hanya mau berpacaran, having sex, kemudian putus ketika sudah bosan.

"Aku bertemu salah satu mantanku semasa kuliah, beberapa hari lalu aku bertemu dia. Dan aku tertarik sama dia untuk menghamili aku. Gimana menurut kamu?"

Gladys tersenyum iblis. "Terus kamu di sini nunggu apa? Kejar, Valerie!"

"Andai dia mau... Sayangnya dia menolak."

"Kenapa menolak?"

Valerie mengedikkan pundak. "Dulu dia yang memutuskan hubungan kami. Mungkin dia sudah hilang rasa sampai saat ini."

Gladys mengetuk-ngetukkan telunjuk di dagu, mencari akal untuk membantu mencari jalan keluar dari masalah sahabatnya itu.

"Dia tampan, Gladys. Bahkan saat ini sangat tampan. Kalau aku punya anak dari dia, pasti anak itu akan sangat cantik atau sama tampannya seperti dia."

Gladys menjentikkan jari, baru saja mendapat ide cemerlang. "Aku tahu solusinya."

Mata Valerie berbinar. Berharap kali ini Gladys benar-benar bisa membantunya. "Apa solusinya?"

Gladys mencondongkan tubuhnya ke arah Valerie, lalu membisikkan sesuatu. Mendengar beberapa kata dari Gladys, mata Valerie membola.

"Enggak." tolak Valerie setelah Gladys menegakkan kembali tubuhnya. "Aku enggak berani."

"Apa yang kamu takutkan? Toh, dia enggak bakal rugi apa-apa. Malah beruntung dapat anak perawan seperti kamu."

"Tapi sama aja itu merampas—"

"Mau warisan kamu cair, enggak?" Gladys sengaja memanasi agar Valerie berani melangkah maju, mengalahkan segala risiko.

"Tapi nanti dia benci aku, Gladys."

"Enggak akan. Kalau kamu hamil, itu artinya kamu ibu dari anaknya. Dia enggak akan benci, ya... walaupun mungkin awalnya dia akan kesal."

***

Note;

sam·pa·nye n minuman yang mengandung alkohol, dibuat dari sari anggur cemerlang (berasal dari daerah Champagne, Prancis)

Happy Sunday🌹

Make Me Pregnant, Please!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang