Malam ini, Naresh tidak datang seorang diri. Pria itu membawa serta keluarga kecilnya yang terdiri dari ibunya dan seorang adik perempuannya. Valerie juga tidak menyambut hanya berdua sang ayah, namun juga ada Vino dan Virgo di sana.
Naresh menyampaikan niat baiknya untuk menikahi Valerie. Beno tidak langsung mempercayai. Lelaki dari tiga orang anak tersebut curiga bahwa semua ini hanya akal-akalan Valerie saja agar mendapatkan harta. Tapi bukan Naresh namanya jika gagal meyakinkan calon mertuanya.
"Saya yakin kamu pria baik-baik. Jadi saya memberi kesempatan untuk kamu membahagiakan anak saya, membawa anak saya dalam hubungan pernikahan." ucap Beno final.
Valerie rasanya ingin berteria nyaring, tapi itu bukan hal yang sopan, jadi urung dilakukan.
"Jadi, kapan kalian akan menikah?"
Dalam pertemuan itu tidak hanya sekedar menyampaikan niat baik Naresh, namun juga menentukan hari baik kedua pasangan CLBK tersebut.
Tidak repot dan sama sekali tanpa drama. Kedua belah pihak percaya bahwa semua hari dan tanggal itu baik. Maka mereka menyesuaikan saja dengan keinginan calon mempelai. Hingga tercetus tanggal enam belas bulan depan.
"Apa kalian sudah yakin kalau semuanya siap dalam waktu singkat?" tanya Rahmi sebagai satu-satunya wali perempuan.
"Tenang aja, tante, Valerie punya kenalan jasa WO yang bisa mempersiapkan semua dalam waktu cepat, tapi hasilnya bagus."
"Baik, kalau memang tidak ada yang keberatan. Kalian boleh menikah tanggal enam belas." Beno menegaskan keputusan yang telah disepakati.
***
Di tengah kesibukan Naresh, pria itu tidak pernah tidak menemani Valerie untuk menemui pihak WO guna untuk membahas persiapan pernikahan mereka. Dan lagi, Valerie sangat kooperatif dengan tidak banyak protes ataupun menyulitkan. Bahkan dalam beberapa hal, ia setuju saja pada pilihan Naresh. Salah satunya gaun pernikahan.
Ada sekitar lima rancangan gaun yang direkomendasikan, dan pilihan Valerie jatuh pada yang kedua. Tetapi Naresh tidak suka, ia menyukai pilihan ke empat, maka Valerie menurut. Benar-benar wanita itu tidak ingin menimbulkan pertikaian. Membuat Naresh takjub, karena biasanya perempuan itu cukup banyak drama dalam menghadapi situasi.
Sampai akhirnya Naresh paham jika wanita itu benar-benar terobsesi memiliki butik, sampai merendahkan egonya sebegitunya. Bahkan sempat merendahkan harga diri sebagai seorang wanita dengan meniduri Naresh yang lebih dulu dibuat tidak berdaya.
"Sudah berapa persen persiapannya?" tanya Naresh, duduk di samping Valerie yang tengah menatap matahari sore yang berwarna jingga.
"Enam puluh persen." jawabnya yang memang lebih aktif menghubungi pihak WO.
"Pernikahan kita seminggu lagi, memangnya cukup waktunya?"
Valerie mengangguk pasti. "Cukup, tinggal yang kecil-kecil aja, kok. Itupun sedang dipersiapkan."
Tangan kiri Naresh merangkul pundak Valerie. Minggu sore ini mereka benar-benar bernostalgia saat sedang pacaran. Menikmati matahari tenggelam dari atas tebing sambil duduk di cup depan mobil... mereka saling merindukan momen sederhana itu.
"Gimana perasaan kamu ke aku, Valerie?"
Valerie menengok sejenak pada pria di sampingnya, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Aku juga enggak tahu, Naresh."
Naresh menurunkan tangannya. Kecewa mendengar pernyataan itu... sedih tepatnya.
"Aku pernah cinta banget sama kamu, tapi kamu meninggalkan aku. Jadi aku belum berani untuk mengenal perasaan itu lagi. Fokus aku sekarang, membangun butik. Meneruskan keinginan mama dan aku."
"Kamu, 'kan sudah tahu alasan aku meninggalkan kamu. Karena aku mau kamu introspeksi diri."
"Tapi dengan kamu putusin aku secara tiba-tiba tanpa kasih alasan yang jelas, itu membuat aku bingung."
Naresh menghela napas berat, lalu menunduk. "Aku tahu, aku salah."
Valerie kembali menatap Naresh, kini satu tangannya mengangkat dagu pria itu. "Hei, kita sudah mau menikah. Jangan sedih-sedih, oke?"
Naresh meraih tangan Valerie dari dagunya, kemudian mencium punggung tangan itu dengan lembut. "Mau tahu satu hal?"
"Mau. Tentang apa itu?"
"Dulu dan sekarang, aku tetap sayang sama kamu. Tetap cinta."
Valerie terkekeh pelan. "Tunggu waktu, oke? Nanti kalau waktu sudah mengizinkan, aku pasti akan jatuh cinta lagi sama kamu."
Naresh mengangguk. Perasaan memang tidak bisa dipaksa. Wajar Valerie seperti itu, karena secara tidak langsung Naresh pernah meninggalkan luka, walau sebenarnya bukan itu maksud Naresh.
"Perasaanku ke kamu memang belum jelas sekarang, tapi kamu tenang aja, aku enggak menyimpan perasaan sama pria lain kok."
Naresh tertawa menanggapi itu. Tidak perlu diklarifikasi Naresh juga sudah tahu. Jika memang Valerie sedang berpacaran atau dekat dengan pria lain, lalu mengapa datang pada Naresh dan meminta dihamili?
"Sudah gelap, pulang, yuk." ajak Valerie.
"Mau dinner di apartment? Nanti aku masak menu spesial untuk kamu."
"Of course, calon suami." jawab Valerie sembari tertawa geli.
***
Sejujurnya Naresh tahu jika salmon masuk dalam daftar bintang utama yang tidak disuka oleh Valerie, tapi ia iseng untuk memasak salmon.
Setelah beberapa saat berkutat dalam dapurnya, pria itu menghampiri Valerie yang sejak tadi menunggu di meja makan.
"Selamat makan, Valove."
Valerie terkekeh mendengar panggilan spesial dari Naresh semasa pacaran dulu. Jika dulu kata itu terdengar sangat manis, kini justru agak menggelikan.
"Ini apa?" tanya Valerie melihat hidangan yang disiapkan untuknya.
"Salmon mentai,"
Valerie langsung mengernyitkan dahi. "Aku enggak suka salmon."
"Coba deh, kamu pasti suka. Ini pertama kalinya aku masak salmon mentai, harusnya sih kamu tersanjung."
Valerie memang tidak suka, bukan tidak bisa. Maka jika Naresh saja mau menikahinya agar bisa memberikan Valerie seorang anak, rasanya egois jika sekadar memakan masakan Naresh saja harus memprotes dan menolak. "Oke, aku coba." ucapnya setuju.
Valerie mengerjap seketika. Masakan Naresh memang juara. Pria itu sangat expert dibidang memasak.
"Gimana?" Naresh meminta pendapat.
"Ini sih kalau aku harus kasih rating antara satu sampai sepuluh, masakan kamu ini ratingnya sebelas."
Naresh tertawa ringan, senang. Lalu ikut menikmati miliknya sendiri. Sesekali sambil memandang wajah Valerie, kali saja perempuan itu hanya berbohong demi menghiburnya.
"Nanti kalau kita menikah, aku mau dimasakin ini setiap hari."
"Katanya enggak suka salmon?" sindir Naresh yang membuat Valerie meringis malu.
"Sepertinya tergantung rasa makanan itu sendiri, deh. Tergantung seahli apa yang masak," jawab Valerie dengan jujur. "Karena aku cuma pernah makan salmon sebanyak dua kali, dan dua-duanya itu rasanya mengecewakan. Tapi di kali ketiga ini, kamu berhasil mengubah sudut pandangku tentang salmon."
Naresh mengangguk. "Tapi aku tetap enggak akan masak ini setiap hari setelah kita menikah nanti."
"Loh, kenapa?" Valerie merasa tidak terima. "Kamu keberatan, ya?"
"Bukan,"
"Jadi, apa alasannya?" desak Valerie atas keengganan Naresh yang mengusik jiwanya.
"Ya, aku enggak akan masak menu ini setiap hari. Memangnya kamu enggak mau merasakan menu-menu lain dari masakanku?"
Akhirnya Valerie paham. Bukan Naresh tidak mau memasak untuknya, tetapi pria itu ingin menghidangkan banyak menu untuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Make Me Pregnant, Please!
RomanceMenjadi anak bungsu di keluarga kaya raya, tentunya membuat Valerie Noura Smith juga tergiur untuk mendapatkan warisan dari sang ayah, Beno Smith. Berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya yang mendapat hak warisan setelah usia mereka dua puluh lima t...