Pagi itu langit begitu mendung, gemercik hujan membasahi jendela rumah sakit. Sudah 2 hari ini tidak ada yang Shan lakukan selain menangis dan merenung, memandangi Ayahnya yang terbaring koma. Shan benar-benar merasakan kehilangan yang amat sangat mendalam. Ayahnya tertidur dan belum terbangun lagi hingga pagi ini.
Mata Shan membengkak, air mata terus menerus menggenang di ujung matanya. Shan menolak semua jenis makanan yang Sinta, personal assistantnya berikan. Shan hanya diam, diam dan diam. Shan melirik ponselnya, ada puluhan missed call dan chat dari Bella sekertarisnya dan Bima, rekan kerjanya.
"Ibu harus makan agar kuat menemani Pak Pranata." Sinta berkata dengan nada memohon, namun Shan tidak mengindahkannya.
"Tadi Bella dan Pak Bima menghubungi saya, meminta Ibu untuk mengangkat teleponnya."
"Saya akan angkat nanti. Saya belum mood untuk bicara mengenai kantor."
Shan termenung lagi, memandangi Ayahnya dari balik kaca. Wajahnya memucat, sesekali Sinta mendengar seduannya yang begitu pilu. Shan yang sekuat baja, luluh lantak mendapati Ayahnya terbaring tanpa bisa berkata-kata.
"Shan..."
Shan menengok ke asal suara, ternyata Bima. Bima adalah orang kepercayaan Shan di perusahaan Ayahnya. Bima pun masih memiliki hubungan kerabat dengan Ibu Shan. Shan berusaha tersenyum dengan mata bengkaknya. Bima mendekat, berdiri di samping Shan. Mereka saling diam beberapa saat sambil memandangi Ayah Shan dari balik kaca.
"Be strong Shan, untuk Om Pranata."
Bima berkata lirih, Shan hanya mengangguk pelan menanggapinya. Sebenarnya Bima sangat ingin memeluk Shan, sekedar menenangkannya. Sayangnya, Bima tidak berani melakukan itu. Shan sangat membatasi diri bahkan membentengi dirinya dari Bima. Shan tidak pernah memberikan kesempatan untuk memiliki hubungan lebih dari seorang partner bekerja.
"By the way, ada apa?"
"Ada yang ingin aku bicarakan mengenai project dari Mr. George."
"Apa ada kendala?"
"Sorry aku harus mengatakan ini sekarang, di waktu yang kurang tepat karena Om Pranata sedang terbaring sakit. Tapi...kamu harus mengetahui ini secepatnya. Project Mr. George akan di ambil alih Willaga Company."
"Apa?"
Shan terkesiap mendengar ini. Willaga Company, perusahaan rival terbesar Pranata Group. Shan tidak pernah bisa menerima alasan apapun jika project besar yang telah di dapatkannya harus di ambil alih oleh perusahaan lain, apalagi Willaga Company.
"What's wrong, Bim? Kenapa bisa seperti itu?"
"I don't know. Sepertinya ada permainan yang di lakukan Kallenza Ervino. Entah apa yang membuat Mr. George berubah pikiran hingga menukar presentase kerjasamanya."
Shan menghembuskan nafasnya berat. Ini project besar yang seharusnya 80% di dapatkan Pranata Group dan hanya 20% milik Willaga Company. Shan menyesali semuanya berbalik. Shan meraih ponselnya, menghubungi Bella.
"Bella, saya mau menemui Kallenza Ervino dari Willaga Company besok pukul 10 pagi. Biarkan mereka menentukan tempatnya."
Shan meremas ponselnya, kesal. Ya, Shan sangat membenci CEO Willaga Company yang begitu angkuh, sombong dan licik. Banyak perusahaan lain yang merupakan rival dari Pranata Group, tapi Willaga Company adalah nemesis bagi Pranata Group begitupun sebaliknya.
"Shan, please jangan gegabah menghadapi Kallenza Ervino. Dia bukan orang sembarangan."
"Let see Bim. Project itu akan kembali ke tangan Pranata Group."
Shan mendengus mengingat Kallenza. Kenapa manusia licik itu selalu mengganggu ketenangannya. Shan membenamkan wajah di kedua tangannya. Oh God, help me please ! Cobaan macam apalagi ini. Beri aku kekuatan lebih untuk melawan manusia licik itu, teriaknya dalam hati.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Testament
RomanceShan menerima wasiat dari Ayahnya yang terbaring koma bahwa dirinya harus menikah dengan Kallen, nemesisnya yang setengah mati Shan benci. Shan dan Kallen bisa saja menolak, namun hak mereka yang sudah tertulis dalam wasiat terancam dibekukan. Menik...