Massive Conscience
Disclaim : M. Kishimoto
Pagi itu awan hitam menutupi langit seperti biasa, menggumpal tanpa memberi celah untuk sinar mentari yang sedang menyingsing. Pertengahan November suhu beranjak dingin dari hari ke hari, membuat kebanyakan orang mau tak mau mengenakan pakaian lebih tebal dan penutup leher. Segelas kopi atau minuman kaleng panas menjadi teman setia di penghujung musim gugur saat ini.
Namun tak berlaku di dalam ruangan pembimbing di salah satu universitas swasta kota Kyoto, tepatnya terhadap gadis dewasa berambut biru tua yang sedang berdiri gugup di depan pria paruh baya bermuka serius.
Sejenak kemudian pria tersebut mengangguk, "Ini bagus, dan cukup." Sambil memandangi lembaran tugas akhir di tangannya. "Selesaikan bagian akhir dan temui aku lagi kamis siang." Tuturnya memberikan makalah kembali kepada si gadis.
Hinata, nama gadis itu tersenyum senang mendengarnya, dengan sopan mengambil dan membungkuk berterima kasih.
Pria tua tadi balas senyum kecil, "Kau yang paling mengesankan di antara teman-teman seangkatanmu." Puji dia dengan raut bijak.
Tak ada yang bisa Hinata ucapkan selain terima kasih dan membungkuk sopan. Empat tahun pendidikan dan setahun pasca sarjana dapat ia lalu tanpa hambatan, satu-satunya yang dapat ia lakukan hanya berterima kasih kepada setiap orang yang berjasa sejauh ini.
"Kau sudah memutuskan untuk melanjutkan pendidikanmu di mana?" Pria tua tersebut mengangkat alis ketika melihat Hinata ragu-ragu tidak langsung menjawab. "Kau tinggal bilang universitas mana yang kau ingin tuju, aku bisa meyakinkan direktur untuk membuat surat rekomendasi. Sangat disayangkan siswa berprestasi sepertimu jika berhenti setelah sampai di titik ini."
Mata Hinata meredup sejenak memandang angin, "Saya sedang memikirkannya." Jawabnya mencoba lebih yakin tanpa membuat raut wajahnya terbaca. Dia beranjak pergi setelah dipersilahkan keluar, melangkahi koridor sembari memeluk tasnya dengan erat, baru sadar akan suhu udara hari ini yang ternyata sangat dingin.
Pagi tadi, dosen pembimbingnya tiba-tiba mengirim pesan bahwa tepat jam 8 beberapa waktu lalu beliau akan ada di ruangannya, memperbolehkan Hinata menyerahkan tugas akhirnya setelah mendapat satu kali revisi. Dengan terburu dan saking gugupnya ia tak sempat siaga akan cuaca dan temperatur udara. Sekalipun sudah memakai jaket, tak ayal hanya dengan kemeja tipis di dalam tidak cukup untuk melindungi tubuhnya dari dingin, terlebih sedari kecil ia tak punya toleransi yang cukup pada suhu dingin.
"Kau tampak bahagia, apa skripsinya lancar?" Seorang gadis sebaya menghampiri Hinata di ujung persimpangan. Namanya Minami, kurus dan tinggi dengan rambut cokelat sebahu.
Hinata menatapnya dengan senyum tipis, menyiratkan jawaban benar. Minami sebenarnya seumuran dengannya, hanya saja temannya itu lebih lambat setahun saat masuk universitas, jadi secara teknis juniornya, dengan kata lain Minami sudah berada di semester akhir di tahun ini.
"Huh, segala menjadi mudah untuk orang pintar," dengus gadis berambut cokelat tersebut. Dia tiba-tiba antusias memandang Hinata, "Bukankah hal ini pantas dirayakan? Ayo rayakan, sebelum perpisahan kita."
Hinata melirik bosan, "Kau bicara apa? Masih empat bulan lagi sebelum wisuda." Katanya sambil berkali-kali bernafas dengan mulutnya, dia sudah menggigil hanya beberapa menit di luar ruangan.
Sudah tak aneh lagi jika Minami mendengar teman di sebelahnya itu menolak setiap ajakan darinya. Kecuali ke toko buku atau belajar sejenak di cafe dekat kampus, selain itu bahkan meski dia memohon Hinata benar-benar tak bisa diajak bermain keluar. Padahal gadis 23 tahun itu hanya hidup sendiri di apartemen. Minami tidak habis pikir bagaimana Hinata tahan dengan rutinitas yang sama bertahun-tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Massive Conscience
RomanceSetelah malam itu, segalanya berubah. Ketika bertemu dengan pria tersebut yang dalam segala aspek layak dicintai oleh Hinata ... ia tak pernah berhasil membayangkan seperti apa hidup selanjutnya. Uzumaki Naruto adalah seorang bos muda, seorang pria...