Awal Badai

302 51 12
                                    


Massive Conscience

Disclaim : M. Kishimoto

Suaminya datang dalam lima belas menit, membuatnya tak bisa mengira-ngira berapa kecepatan yang ditempuh. Artinya ia sungguh telah membuat pria tersebut sangat khawatir hingga harus sedapat mungkin tak buang-buang waktu dan sampai kepadanya, yang sekarang—sejak tadi—berdiri di trotoar membiarkan udara malam nan dingin itu menusuk kulit wajahnya. Hinata tak bisa menggigil lagi, karena dinginnya ruang di dalam emosinya yang kelewat membekukan nan mencekam.

Pria itu menghampirinya dengan langkah-langkah lebar, nyaris berlari tapi nampak begitu pelan karena Hinata yang menanti-nanti. Ia tak tahan untuk menghapus jarak nan menyiksa itu, menembus udara kosong bak sebuah tembok tinggi tebal yang baginya seperti penghalang.

"Sudah berapa lama kau di luar?" Naruto meraihnya ke dalam dekapan, karena istrinya itu ragu-ragu dan hampir takut untuk melakukannya lebih dulu.

"Baru saja," Hinata tidak tahu, yang jelas dia baru sadar ternyata tubuhnya sangat kedinginan saat dalam pelukan itu—memiliki kehangatan yang seketika membangunkan dirinya. Ia balas melingkarkan lengan, membenamkan wajahnya ke permukaan setelan kerja si pria. Wangi Naruto lebih dominan daripada bau musim dingin yang menusuk hidungnya, jadi ia langsung merasa lebih baik.

Naruto tahu istrinya berbohong, karena surai halus yang dibelainya itu terasa lebih dingin dari biasanya, bak menyentuh es. Artinya gadis itu sudah bermenit-menit diterpa udara dingin yang suhunya hampir menyentuh nol saat ini. Ia ingin segera membawa Hinata ke mobil agar tidak semakin lama kedinginan, tapi gadis itu tak mau melepaskan lengan. Jadi ia hanya mampu membalasnya lebih erat, supaya lebih hangat. "Apa yang dilakukan kakakmu?"

Hinata terkejut, "Bagaimana kau tahu?" tapi nadanya cuma gumaman, seolah kehabisan tenaga.

"Aku menyuruh orang," Naruto tak takut mengakuinya. "Kalau dia tidak mengenal Neji, mungkin dia bakal memukuli kakakmu itu sebelum melapor kepadaku."

Ternyata ada yang mengikutinya, Hinata ingin menolehkan kepalanya untuk mencari siapa orang yang diutus suaminya tersebut, penasaran—tapi dia enggan menghadapi rasa kosong saat melepaskan pelukan, jadi diam saja.

"Apa kau keberatan dengan sikapku itu?"

"Tidak mungkin," Hinata menggeleng pelan. "Malah lebih baik begitu." Ia tak mungkin keberatan dengan apa pun yang pria itu lakukan, meski tidak sampai segalanya memang. Tapi soal adanya orang yang akan terus-menerus mengawasi kalau ia sedang keluar, ia tak keberatan. Itu nyatanya lebih baik, karena ia tak harus makin tersiksa dengan perasaan gelisah karena membayangkan Naruto mencemaskan dirinya dari tempat lain.

"Dia tidak akan melanggar privasimu."

"Aku percaya padamu, kok." Hinata tenang, sekalipun ada sisa-sisa parau dalam suaranya.

Naruto mengangkat wajah gadis tersebut, menyangka bakal melihat air mata namun nyatanya tidak ada, hanya raut sendu yang sesungguhnya lebih menyakitkan baginya. "Sudah mau ke mobil?"

Hinata melepaskan lengannya dengan tak rela. "Maafkan aku, sudah mengganggu waktumu." Ia menatap mata itu, yang langsung memunculkan pikiran, memangnya apa yang harus dikhawatirkan ketika sudah ada sosok ini?

Jemarinya ia usapkan ke kedua pipi Hinata agar setidak-tidaknya bisa memberikan rasa hangat, "Cukup katakan, sekali saja pun, kalau kau ingin aku selalu di dekatmu ... maka akan kulakukan tanpa menunda-nunda." Ujar Naruto.

Hinata ingin menangis saat mendengarnya, emosi yang teredam-redam seolah memaksa meruah, tapi ia menahannya untuk dilakukan di rumah nanti. "Itu indah sekali, tapi tidak boleh." Gumamnya sambil menyentuh punggung tangan si pria di pipinya, berharap bisa menahan itu agar selalu di sana.

Massive ConscienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang