Pesan Dari Sepupu

294 51 10
                                    


Massive Conscience

Disclaim : M. Kishimoto

Hinata bisa mengemudikan mobil, berkat les singkat—paksaan suaminya supaya dia bisa ke mana pun agar tidak kebosanan di rumah. Pria itu punya banyak mobil, belasan barangkali. Semua mewah, dan kebanyakan merupakan pemberian dari salah satu perusahaan otomotif yang memasok logam dari NNS. Kebetulan ada salah satu, tidak mencolok tapi tetap mewah, yang warnanya silver dan menggunakan transmisi otomatis.

Hanya dalam bayangannya saja, kalau belajar mengemudi bakal menghabiskan waktu berminggu-minggu rutin nan teratur. Nyatanya, dia bisa dalam sekali coba seolah sudah terbiasa mengemudi dan langsung dapat lisensi juga sehari setelahnya. Ia yakin sudah cukup piawai meski berkendara ke kota, sendiri pun. Tak perlu khawatir menabrak asal hati-hati, asal mengingat pelajaran nan teori jalan raya yang diterangkan si pria waktu itu.

Saat sarapan tadi, ia menceritakan soal pertemuannya dengan Sakura minggu lalu, dan bilang kalau bakal ke kota hari ini untuk menemui mantan model tersebut. Hinata juga bisa meyakinkan—walau tak perlu sebetulnya—bahwa dia bakal menggunakan taksi saja. Lalu Naruto malahan, memaksa ia agar mengendarai mobil sendiri dan menghabiskan waktu bersenang-senang di luar, karena selama ini pria itu salah paham menganggap dirinya tak punya kebebasan setelah menjalin hubungan—sekarang sudah pernikahan. Tapi Hinata tidak merasa seperti itu, tak mungkin jadi seperti itu. Ia memang tidak suka pergi-pergi tanpa ada keperluan sejak dulu, memang sudah dasarnya lebih suka berdiam diri di rumah tanpa harus jadi bosan sekalipun tidak melakukan apa-apa. Sulit dibayangkan memang, tapi begitu adanya.

Dia tidak menjadikan pertemuannya dengan Naruto dan hubungannya dengan bos tersebut sebuah momentum untuk dirinya berubah, yang macam-macam. Hinata lebih suka tetap berada di sifatnya yang hampir-hampir pasif sekali, seperti kucing rumahan yang malas. Ia belum pernah berpikir untuk jadi sesuatu, mengerjakan sesuatu, lalau meraih sesuatu. Kondisi hidupnya memaksa dia jadi orang yang begitu bersyukur dengan tidak diganggu saja, lalu puncaknya saat ia dibolehkan sekolah di luar kota ... sekedar itu. Dia pula tak ingin menghadirkan kecemasan dalam pikiran suaminya saat bepergian tak jelas terutama. Ia hanya ingin mencurahkan sisa hidupnya, apa pun tentangnya, untuk pria itu sekalipun saat-saat setelah ia ditinggalkan. Hinata pasti selalu memenuhi hatinya dengan cinta yang tulus nan istimewa kepada sosok itu, walau dalam hari yang sesak dan tersayat-sayat suatu saat nanti. Tapi ia selalu yakin bahwa akan selalu bersama selama apa pun, itu yang paling baik.

Dan, cukup mengisi pikirannya dengan bayangan-bayangan suaminya itu sebetulnya sudah bisa dianggap kegiatan bagi Hinata. Kalau-kalau dia memang jatuh pada situasi tak tahu harus melakukan apa di rumah, dia cukup mengandai-andai pria itu ada di depannya; mata biru nan memukau, senyum kecil yang kadang jadi seringai, rambut pirang berantakan nan memikat ... cukuplah begitu maka dia seolah punya kesibukan yang bisa jadi menghabiskan banyak tenaga, yaitu merindu-rindu si orang yang jadi imajinasinya tersebut. Jadi anggapan Naruto bahwa sang istri jenuh tanpa kebebasan, sepenuhnya salah. Karena Hinata sungguh merasa bebas sekali di hidupnya sekarang, sungguh bukan pura-pura.

Ia sampai di kota sore hari, saat jalanan tidak tampak begitu ramai selain para pekerja dan siswa sekolahan yang mungkin sedang perjalanan pulang. Taksi yang ditumpanginya berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang berada di paling sisi gang, di samping belokan. Bentuknya sederhana, seperti layaknya tempat sewaan. Ia memasuki pintu tempat tersebut, dan langsung bisa melihat seseorang yang ingin ditemui.

Sakura sedang berbicara dengan seorang anak kecil yang bersama ibunya di kursi—dijajar seperti kursi tunggu. Anak kecil laki-laki itu tampak habis menangis, tapi saat ini rautnya justru kesenangan dengan senyum lebar dan bicara nan antusias. Hanya hiburan umum yang dilontarkan Sakura untuk basa-basi, tapi karena dia seorang perempuan muda dengan senyum berseri-seri mungkin membuat si anak kecil mudah terbawa suasana. Beberapa saat, kemudian diberikan sedikit pesan-pesan untuk si ibu, yang dibalas mengangguk berterima kasih lalu beranjak pergi. Sakura sempat mengusap-usap kepala si anak, karena kelihatan tak rela diajak pulang.

Massive ConscienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang