Uzumaki Naruto

344 56 10
                                    


Massive Conscience

Disclaim : M. Kishimoto

Pria itu kembali menjelang makan siang, saat Hinata dan wanita bersurai merah di sana sedang merawat tanaman—obrolan berat selang tadi sudah berakhir dengan alami tanpa meninggalkan kesan apa pun yang sempat terbayangkan sebelumnya—yang didominasi penjelasan ibu Naruto mengenai bunga-bunga di taman tersebut. Terakhir adalah bunga safron, yang umunya dibuat rempah dengan harga jadi bisa sampai ribuan dolar. Dan sayangnya bunga itu tidak mekar pada bulan ini, ditambah fakta yang berjumlah beberapa kuncup saja tidak bermanfaat selain untuk hiasan dan wewangian.

Dari sudut matanya bos muda itu tetap menawan di tengah sederhananya arsitektur rumah, yang hanya terdiri dari kayu-kayu cerah dan dinding biasa. Hinata mulai mengerti bahwa kesan sederhana yang terpancar dari pria itu—anehnya selalu lebih menarik dari orang lain di matanya, memang sudah diturunkan dari keluarga. Dan cukup dengan kenyataan saja, di mana kekayaan dan kekuasaannya bukanlah hal yang bisa dimiliki orang sederhana biasa, itu tidak bisa disangkal walau dalam bentuk dan penampilan seperti apa pun.

Layaknya kini, setelan semi formal berupa blazer sewarna susu, membungkus kemeja senada mata birunya yang kasual serta celana hitam biasa nan kontras. Mendadak dia sadar sudah mengira jika pria itu bakal paling sempurna dengan setelan gelap, ternyata salah besar. Karena sekarang yang dilihatnya, dengan baju cerah terkesan asal ambil asal pakai tersebut tak mengurangi sedikit pun figur sempurnanya.

Hinata juga baru sadar akan samanya warna pakaian luar yang mereka berdua kenakan, hampir serasi—mungkin dari Brand yang sama juga. Dia penasaran tampak seperti apa keduanya di mata orang lain kalau-kalau berjalan berdampingan. Astaga, pemikiran memalukan dan tak berguna seperti itu muncul makin sering dalam kepalanya.

"Aku akan kembali ke Kyoto menyiapkan penerbangan dan bakal di luar negeri selama tiga hari ke depan. Kau bisa tinggal di sini selama apa pun."

Perkataan itu tidak untuk orang lain, seolah sengaja menempatkan dirinya dalam situasi yang tak bisa ke mana-mana. Hinata percaya pria itu tidak mau tahu kalau dirinya tidak bisa melakukan hal tersebut

"Sebenarnya sih, kalian memang tidak boleh tinggal serumah terlalu lama. Kecuali," Kushina hanya berniat menggoda putranya saja, agar bocah itu segera mewujudkan kepastian—tanpa sadar ada orang yang lebih tersudut dengan wajah tersipu di hadapannya.

"Kecuali ada orang yang bisa melindunginya lebih baik dari aku,"

"Gadis ini membutuhkan lebih dari hanya sebuah perlindungan,"

Hinata tak merasa terbantu sama sekali dengan sanggahan Naruto barusan, diperparah perkataan wanita di depannya yang tampak senang sekali jika bisa mendesak sang putra. Dia hanya menunduk pura-pura punya kesibukan memegangi bunga, berharap pria tersebut tidak mencoba menebak apa saja yang ia bicarakan—yang kalau kelewatan sudah pasti membuatnya sangat malu.

"Pergilah setelah makan siang, ibu ragu kau akan ke sini lagi dalam waktu dekat." Kushina tidak penasaran dengan reaksi atau tanggapan Naruto, kalau toh dia sungguh-sungguh menggoda sekalipun. Jadi dengan cepat mengakhiri keusilannya yang sia-sia tersebut. "Masaklah makanan, sudah lama rasanya tidak memakan kentang daging buatanmu."

Dari caranya bergerak yang tak mau membuang waktu lebih, Naruto tampak sedang buru-buru. Namun pria itu tak membantah soal perintah ibunya barusan dan melangkah ke dapur dengan sekejap mungkin.

"Bisa kubantu?" Tak lewat sedetik Hinata menyusul, tampak canggung. Sekalipun senyum tipisnya yang terpatri di bibir cukup menjelaskan kondisi hatinya yang berbunga-bunga, sadar sudah makin jauh dirinya mempercayai sosok itu—menerima takdir yang anehnya belum masuk akal saja.

Massive ConscienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang