Rumah Tangga

374 54 7
                                    

Massive Conscience

Disclaim : M. Kishimoto

"Maksudnya, aku harus mencampuri masalah pribadi keluargamu? Terlebih ini menyangkut Uzumaki juga," Kebulan asap mengiringi suaranya, pria itu mengabaikan larangan merokok di tempat umum. Bertubuh tinggi dengan rambut hitam runcing dan janggut tebal, kulitnya secokelat pasir. "Aku benci memikirkan risikonya," sambung dia.

"Aku cuma ingin tahu keberadaannya, sudah berhari-hari aku coba mencari tahu sendiri dan nihil."

Seorang polisi bernama Asuma tersebut cenderung kurang antusias, meski punya keinginan kuat untuk membantu orang yang bakal jadi kerabatnya itu. Hubungannya dengan Neji memang baik—paling baik di antara orang-orang Hyuga lainnya—tapi ayahnya selaku Perdana Menteri sekarang punya hubungan dan sejarah yang jauh lebih baik dengan keluarga Uzumaki. "Bagus aku tak harus ikut-ikut. Kalau cuma mencari tahu di mana adikmu, mungkin aku bisa berusaha sedikit."

"Terima kasih," Neji datar-datar saja, menyembunyikan emosinya seperti biasa.

"Menginaplah di rumahku, Mirai pasti senang." Asuma menawari, meski tahu si utusan Hyuga di hadapannya itu sedang mengalami masalah pelik yang tak mau menyia-nyiakan waktu. "Aku usahakan akan ketemu sebelum tahun baru, sebelum pertunangan Hanabi."

"Aku mengandalkan Pak Asuma," Neji tak membungkuk, malah mengangkat wajah setinggi mungkin untuk melihat langit yang gelap, menerawang sosok yang harus ia lindungi sepanjang hidup.

Ia tak tahu alasannya, kenapa begitu prihatin dengan sepupunya yang dicap sebagai kutukan keluarga itu. Saat itu Neji masih kecil, sedikit sekali ingat tentang peristiwa buruk dalam keluarganya di malam itu. Yang ia tahu cuma bisik-bisik orang dan tatapan bengis seolah bisa membinasakan apa saja, emosi-emosi negatif itu menekan mentalnya sendirian yang sedang terpuruk karena meninggalnya Hizashi, ayahnya yang terbunuh sewaktu penyergapan sepulang pertemuan di Tokyo.

Beberapa hari sebelum meninggal, ayahnya sempat berkata agar ia tumbuh besar untuk menjaga keturunan saudara beliau yaitu Hiashi, seolah-seolah tahu bakal ada konspirasi entah oleh siapa yang akan melengserkan kepemimpinan Hiashi yang baru menjabat, seolah tahu bakal lahir bayi yang kemudian dikenal sebagai Hinata. Ia tak bisa mempercayai kalau ternyata ayahnya mendapat informasi itu tetapi tak mengatakannya kepada siapa pun kecuali dirinya.

Bertahun-tahun berlalu, matanya melihat sendiri bagaimana Hinata tumbuh dengan penghinaan itu, dengan segala tatapan miring dan caci maki. Sebetulnya, Neji hanya merasakan kemarahan saja—bukan sakit hati. Ia tak bisa menerima kalau seorang anak yang tidak tahu apa-apa mendapat perlakuan seperti itu, dengan alasan apa pun. Seharusnya ada cara agar Hinata terbebas dari takdirnya yang tidak tepat, yang bisa dilakukan siapa saja—yang nyatanya tidak ada yang mencoba. Pemikiran itu menghantuinya makin menakutkan seiring bertambah waktu, seiring tak ada lagi yang bisa mengentas penderitaan sepupunya tersebut. Dia makin tersiksa saat tiba-tiba membayangkan perkataan ayahnya, yang bilang kalau semua itu adalah buah tangan seseorang secara sengaja—menyulut masalah remeh agar tidak pernah padam justru makin awet.

Ia takut Hinata akan mengalami sakit mental, tapi tak berdaya dengan pemikiran dalam kepalanya sendiri yang mempercayai kalau Hinata lebih aman saat tak dipedulikan. Ia harusnya bisa mendekat dan memeluknya, mengatakan agar sabar dan meyakinkan fakta kalau ada yang peduli ... sembunyi-sembunyi pun. Bukan sesumbar seolah bisa melindungi Hinata dari kejauhan, melindungi akan kejahatan dari luar dan mengabaikan yang ada di dalam—yang lebih mudah menghancurkan hati seorang gadis nan rapuh itu.

Tetapi Neji tak pernah mendapati Hinata menangis, melihat wajah sendu pun. Gadis itu bermata tulus, selembut air laut yang menyimpan misteri ... yang ia tidak tahu seperti apa sebenarnya dirasakan Hinata. Bahu yang tak pernah lebih rendah dari ketegaran menjalani hidup bagai neraka itu, tak ada langkah kaki terseok-seok yang menyimpan penderitaan, tak ada jeritan walau sekedar nafas. Itu tidak mungkin pasti, tidak menjelaskan secara sebenarnya bagaimana perasaan Hinata. Ketidaktahuan itulah yang menempatkan Neji pada posisi tak kuasa lagi menahan hingga mencari cara untuk mengubah semuanya, curang pun asal tidak membantah Hiashi di sisi lain.

Massive ConscienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang