acanthus

901 158 2
                                    

No one is ever satisfied where he is.

Antoine de Saint-Exupéry - The Little Prince

*

Lee Minho menguap lagi di kelas Bahasa Jepang. Padahal, ini subjek kesukaannya. Begitu juga dengan dosennya.

Hari ini rasanya dia lebih ngantuk. Mata almond dirasa lebih berat daripada kemarin. Angin dari AC di atas kepala juga menyamankan si anak kuliahan itu. Rambutnya terasa dibelai lembut.

"Minho-san." Dipanggil sudah namanya. Mungkin rasa kantuk yang dirasakan Minho sudah menyebar hingga mengundang atensi dosen di depan kelas.

"Nemui desu ka? Kao wo aratte kudasai," kata dosen perempuan dengan lembut dan pelafalan yang fasih (yaiyalah, dosen). Itu tadi perintah untuk Minho membasuh wajahnya.

Minho berdiri, menunduk sekilas, kemudian berjalan ke luar kelas. Jantung Minho nyaris melompat karena ia dipertemukan dengan sosok Hyunjin begitu menutup pintu.

"Ngapain?"

Hyunjin menoleh.

"Lah? Udah selesai? Tumben cepet?"

Minho menggeleng. "Mau cuci muka, ngantuk."

Hyunjin menggeleng juga, "ckckck," sambil mendecak.

Baru satu langkah Minho beranjak, badannya sudah diputar lagi. "Tadi belum dijawab. Ngapain?"

"Main game, elah. Udah sana, keburu dipertanyakan sama Mina-sensei." Sensei itu, sebutan untuk dosen atau guru.

Kemudian Minho meninggalkan Hyunjin dengan ponselnya. Saat ia kembali, Hyunjin sudah tidak ada di sana.

*

Angin berhembus sepoi meniup-niup helai rambut gelap Minho dan helai rambut terang Hyunjin. Keduanya sedang berjalan dari kampus menuju tempat latihan tari.

"Eh, baru tau ada toko bunga di sini." Minho mendadak berhenti di depan sebuah toko bunga dengan cat hijau.

"Hm?" Hyunjin ikut berhenti dan menoleh ke arah yang dilihat Minho. "Lah, iya. Baru tau juga. Mau mampir dulu?" tanyanya.

Puas mengamati, Minho menoleh ke arah Hyunjin. "Nggak deh, besok-besok aja. Yuk," katanya.

Hyunjin mengikuti lagi langkah Minho. "Kakak tuh nggak suka bunga, ya?"

Minho terkekeh ditanya begitu. "Enggak tuh, kata siapa? Biasa aja sama bunga."

"Oh? Terus? Ada trauma?" tanya Hyunjin lagi.

"Hmm," Minho berpikir. "Beberapa jenis aja sih," jawabnya.

Hyunjin mengangguk-angguk. "Padahal bunga bagus," gumamnya.

"Ya emang." Minho ikut menggumam.

Dengan perbincangan yang terus mengalir, keduanya tiba di studio tari, sepuluh menit kemudian. Hyunjin mengeluarkan kunci studio yang setiap hari dibawanya, kemudian membuka pintu dari kaca tersebut. Keduanya menyiapkan keperluan untuk memulai latihan tari hari ini.

Lagu yang sedang Minho kerjakan koreografinya harus memuat satu lagu campuran, kontemporer dan klasik. Sebagiannya adalah lagu pop modern yang belum Minho tentukan, dan sebagiannya lagi adalah lagu klasik bertempo allegro, tempo cepat yang semangat. Minho sendiri, iya, dia sedang belajar untuk menerapkan hasil dari kelas baletnya.

Gerakan tangan Minho, sama seperti Romantic Pieces potongan pertama karya Dvořák. Iringan biola membawa lekukan tangan begitu lembut ke atas kepala, menjatuhkannya perlahan di depan dada. Tumpuan kaki kiri berputar sempurna dengan kaki kanan yang terlempar di sekitarnya. Helaian rambutnya menari dan melompat-lompat, bagai bernyawa di setiap satu helainya.

Badannya mengurva, bagai tulang itu bukan apa-apa. Lentur dan fleksibel, gerakan yang begitu halus. Jangankan seluruh tubuh, detail terkecil yaitu jari yang lentik pun tidak lolos dari perhatian Minho. Bulu mata panjangnya ikut bergoyang kecil seiring kedipan mata intensnya menatap bayangan di kaca raksasa.

Hyunjin, kalau ditanya bagaimana keadaan ruangan ketika Minho menarikan koreografi ini, akan menjawab: sejuk. Baik musiknya maupun sosok Minho sendiri, bagai menghembuskan angin romantis, peralihan dari musim semi ke musim gugur di mana suhu mulai turun, tapi dedaunan masih hijau. Hyunjin tidak ikut dalam koreografi Minho yang ini karena ini adalah tugas solo dari akademi mereka. Hyunjin punya karya yang lain, yang tidak akan diceritakan di sini.

Latihan tari bersama Hyunjin selalu berhasil membuat Minho lupa akan dunia. Dikiranya dunia berubah menjadi kerajaan di atas awan. Ketika arlojinya diintip, jarum jamnya sudah mendekati angka sepuluh.

"Oh, shit. Jin, udah mau jam sepuluh!" serunya pada Hyunjin yang ada di pojok lain.

Hyunjin yang sedang memainkan ponsel, mendongak. "Hah? Iya," katanya singkat, kemudian berdiri.

Minho memerhatikan gelagat Hyunjin yang lebih acuh daripada biasanya. "Kenapa?" tanyanya.

Hyunjin cemberut. "Berantem sama yayang," jawabnya melas.

Putaran mata Minho adalah respon yang diberikan kepada rewelnya Hyunjin. Ia juga memutuskan untuk tidak acuh kepada masalah percintaan rekannya. Si rambut gelap lebih memilih untuk membereskan barangnya dan bersiap pulang ke rumah, ketimbang menenangkan Hyunjin. Bahkan sampai barang-barang Hyunjin pun, Minho yang bereskan karena dia tidak mau ketinggalan bus terakhir yang akan tiba lima belas menit lagi.

"Sampe kesandung, nggak bakal aku tolongin." Minho berkata dingin kepada Hyunjin yang tidak mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Hyunjin hanya merespon dengan erangan kecil. Pusing dengan pertengkaran, juga pusing diocehin Minho terus menerus.

"Caranya minta maaf sama pacar kalau kita ada salah, gimana?"

Keduanya sampai di halte, tepat ketika moncong bus yang akan mengangkut Minho terlihat. Minho menoleh sebentar dan mengedikkan bahunya acuh. Tidak tahu harus menjawab apa, kemudian dia pergi begitu saja meninggalkan Hyunjin yang kebingungan di halte sendirian.

Deretan lampu di pinggir jalan adalah teman Minho setiap malamnya. Earphone dipasangkannya di telinga, memutar potongan lagu yang harus dia resapi seutuhnya. Kepalanya miring, disandarkan di kaca bus. Memikirkan bagaimana hari berjalan hari ini, dan bagaimana hari akan berjalan esok. Saat sedang melamun itu, Minho pasti banyak memunculkan ide untuk koreografinya. Pastinya dia senang.

Sampai di rumah, rutinitas Minho tentu saja, membuka pintu dan menyalakan lampu. Membuka sepatu, masuk ke rumah, kemudian meletakkan barang bawaan di samping meja makan. Dia akan memasak nasi setelahnya. Sambil menunggu, dia mandi, berendam dengan air hangat. Ketika nasi sudah masak dan dia sudah berpakaian siap untuk tidur, dia menyempatkan makan malam.

Minho mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, mengirimkan pesan untuk Hyunjin yang sepertinya masih kebingungan soal pertengkaran dengan pacar.

Jin, kasih bunga.

Minho menghabiskan makan malamnya lalu memantaskan diri untuk pergi ke dunia mimpi.

*

Dandelion and Sad Symphonies // 2minTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang