Sebuah Pertanda;

558 79 5
                                    

Orang tidak selalu membutuhkan nasehat. Terkadang, yang mereka butuhkan adalah tangan untuk mendampingi mereka, telinga untuk mendengarkan dan hati untuk memahami mereka.

 Terkadang, yang mereka butuhkan adalah tangan untuk mendampingi mereka, telinga untuk mendengarkan dan hati untuk memahami mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari yang sama, Dimas kembali ke rumah dengan perasaan tidak menentu. Pasalnya dia khawatir dengan anak semata wayangnya itu karena tidak bisa dihubungi. Dia berpikir, apakah Jake masih marah padanya.

Jam di dinding, jarum pendek telah menunjukkan ke angka delapan, sedang jarum panjangnya ada di angka sepuluh. Sampai saat ini belum ada kabar dari Jake sama sekali. Tidak biasanya pemuda itu belum kembali ke rumah.

Dimas berjalan pelan --mondar-mandir di ruang tamu, sambil sesekali memijat dahinya karena terasa pusing. Satu tangannya menggenggam ponsel untuk menghubungi putra satu-satunya itu.

"Baiklah, aku akan menelepon teman-teman sekolah Jake," gumamnya sambil mencari nomor kontak teman putranya itu.

Dialing Jungwon ...

[Halo Om.]

"Iya halo. Ini dengan Jungwon 'kan?"

[Iya saya sendiri. Ada apa ya Om?]

Dimas menarik napasnya pelan.

"Begini 'nak Jungwon. Apa Jake sedang bersamamu?"

Diseberang sana, Jungwon mengernyitkan dahinya.

[Jake? Nggak Om. Bukannya dia udah pulang sekolah sejak tadi?]

Kini Ayah satu anak itu semakin khawatir setelah mendengar jawaban dari Jungwon.

"Benarkah? Tapi kenapa dia belum pulang ya? Bisa tolong kamu tanyakan ke teman yang lain?"

[Baik Om. Saya akan menghubungi teman sekelas dan menanyakan keberadaan Jake. Om tenang aja, saya akan menghubungi Om kalau udah tau kabar Jake.]

Dimas menghela napas panjang dan mengangguk walau Jungwon tidak dapat melihatnya.

"Baiklah 'nak. Terima kasih, maaf merepotkan."

[Nggak apa-apa Om. Ya udah kalau begitu, saya akan menghubungi teman teman sekarang juga.]

Dimas memutuskan panggilannya secara sepihak. Dia langsung melangkahkan kakinya menuju dapur. Dia menjadi sangat haus karena khawatir dengan putranya itu.

Tiba-tiba, gelas yang ada dipegangannya terlepas begitu saja dan pecah, banyak serpihan kaca yang berserahkan di lantai. Detik berikutnya perasaan pria dewasa itu sangat tidak enak. Dia takut akan terjadi sesuatu dengan orang yang dia cintai, ditambah putra satu-satunya itu susah untuk dihubungi.

"Pak, apa Bapak baik-baik saja? Biar saya yang membereskan ini semua. Silakan Bapak istirahat," tanya asisten rumah tangga.

Dimas terkesiap. "Ah, iya saya baik-baik aja bi." Dia pun melangkahkan kakinya menuju kamar. Masih dengan wajah penuh kekhawatiran.

Integral | Jake Sim ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang