Bagian Tujuh.
Khansa menyapu kelas, sama seperti pada pagi biasanya. Tanpa sengaja sapu yang ia pegang, terlepas dari genggamannya. Sontak Khansa pun menunduk untuk mengambil sapu tersebut. Namun, ia kalah cepat. Seseorang telah lebih dulu mengambil sapu itu.
Gilang.
Tanpa sengaja, tatapan mereka bertemu. Sontak saja jantung Khansa berdetak dua kali lebih cepat. Ia pun mengambil sapu yang Gilang sodorkan ke arahnya. Gilang tampak tak acuh. Laki-laki itu berjalan santai ke tempat duduknya.
Meninggalkan Khansa yang berusaha menormalkan detak jantungnya.
| Segala Dalam Diam |
Khansa terdiam di dalam kelas. Ia sedikit memikirkan kejadian kemarin. Tepatnya ketika ia berada di dapur untuk membuat minuman.
"Alhamdulillah selesai."
Khansa pun membawa nampan berisi minuman dan cemilan dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba tanpa sengaja, Khansa mendengar percakapan sang abi dengan Ghina dan Gilang.
"Om, kalau boleh tahu ... Khansa sakit?" tanya Ghina dengan suara pelan.
Hening sejenak.
"Alhamdulillah Khansa tidak sakit. Tapi jika kamu bertanya karena mendengar kata obat tadi, sebenarnya yang kami maksud itu bukan obat sakit."
Gilang dan Ghina hanya diam dan mendengarkan. Merasa rahasia yang cukup besar itu akan terbongkar, Khansa mempercepat langkahnya menuju ruang tamu.
"Tapi obat untuk menurunkan gejala fobia. Khansa punya dua fobia, yaitu acrophobia dan ...."
Ucapan sang abi terhenti ketika melihat ia datang.
Dan kini, sebuah fobia yang Khansa coba rahasiakan dari siapapun kecuali abinya, terbongkar. Khansa tak tahu apakah rahasianya itu akan diketahui orang-orang dalam waktu dekat atau dalam waktu yang lama.
Waktu yang akan menjawab pertanyaannya.
| Segala Dalam Diam |
Kini, jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Khansa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini, rasanya berbeda walau tak seluruhnya. Hanya bagian saat ia dan Gilang tanpa sengaja bertatapan pagi tadi.
Tatapan itu berlangsung singkat.
Namun debarannya masih terasa hingga sekarang. Jika Khansa mengartikan debaran itu adalah sebuah cinta, apakah salah? Dan jika benar ini adalah cinta, apakah datangnya tidak terlalu cepat?
Tolong ingatkan Khansa, bahwa Allah bisa melakukan segalanya. Termasuk membolak-balikkan hati serta perasaan. Dan tolong ingatkan Khansa, bahwa ia tak boleh memikirkan seseorang yang bukan mahramnya.
Zina pikiran.
"Astaghfirullah ... Khansa, sadar! Kamu tak pantas memikirkannya!"
"Dia bukan siapa-siapamu."
Khansa menghela napas panjang. Ia sendiri yang mengucapkan, ia sendiri yang mempertegas, dan pada akhirnya ia sendiri yang merasa sesak di dadanya.
Khansa meregangkan kedua tangannya. Tanpa sengaja, ia menjatuhkan sesuatu dari atas nakas di dekat kasurnya. Khansa pun duduk dan mencari, apa yang tanpa sengaja telah ia jatuhkan.
"Ini ... yang jatuh?"
Perlahan, Khansa mengambil benda itu lalu berjalan menuju meja belajar yang terletak di dekat jendela. Sebuah benda yang sangat berharga bagi Khansa. Benda itu adalah boneka beruang kecil berwarna putih. Kata sang abi, boneka itu dibeli saat ia masih berada di dalam kandungan uminya. Dirga juga berkata, jika boneka itu adalah kado spesial untuk dirinya ketika lahir nantinya.
Kado itu adalah hadiah pertama dan terakhir yang terindah bagi Khansa, dari uminya.
Khansa duduk seraya mengusap boneka di genggamannya. Air matanya perlahan turun tanpa diperintah. Ia rindu uminya. Ia ingin tahu, seperti apa rupa uminya. Ia ingin merasakan seperti apa rasanya bersenang-senang bersama uminya. Ia ingin merasakan seperti yang orang-orang rasakan.
"Umi ... Khansa rindu."
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Dalam Diam [END]
Duchowe[LENGKAP] ______________________________________________________________ "Gue cinta sama lo, Al." "Aku menyuruhmu untuk mencintai Allah, Gi. Bukan mencintai aku." "Gue tahu. Tapi rasa ini perlahan tumbuh dengan sendirinya, Al. Lo mau j...