Bagian Delapan.
"Kelompok satu. Silakan mengumpulkan tugas membuat mading yang saya beri, dua hari lalu."
Melihat tak satupun ada siswa ataupun siswi yang berdiri, Ilham menghela napas panjang. Guru muda itu membuka buku yang berisi daftar nama. Ia pun menandai nama-nama yang ada di kelompok satu.
"Kelompok terakhir, kelompok dua. Silakan maju ke depan untuk mengumpulkan."
Khansa pun membawa mading milik kelompoknya. Ia, Gilang, Alka, Angela, Ezra, Bella, Dito, dan Zerania pun maju ke depan.
"Baiklah. Coba jelaskan sedikit tentang judul apa yang kalian ambil, dan kenapa kalian memilih judul tersebut."
Merasa bahwa teman-teman sekelompoknya tak ada yang ingin menjelaskan, Khansa pun lagi-lagi mengalah.
"Di sini, kami mengambil tema Pentingnya Bersabar, karena banyaknya orang-orang yang meluapkan kekesalan ketika marah. Dan Larangan Pacaran, karena banyaknya orang-orang yang berpacaran, walaupun hal itu dilarang," ujar Khansa.
Ilham mengangguk pelan. "Hm ... coba Alka, jelaskan sedikit tentang Pentingnya Bersabar."
Alka menghela napas lega. Untungnya, ia tahu apa yang harus dikatakan. "Pentingnya Bersabar. Kenapa bersabar itu penting? Karena di kehidupan sehari-hari, kita perlu bersabar. Contoh kecil, ketika jam istirahat tiba dan kita membeli makanan di kantin sekolah, namun antreannya panjang. Kita harus bersabar."
"Gilang, silakan ditambahkan contohnya."
Setelah terdiam beberapa detik, Gilang mengangguk pelan. "Contoh lain. Ketika orang-orang merisak kita. Yang harus kita lakukan, adalah bersabar. Karena dian bukan berarti lemah. Dan kita harus yakin, setiap perbuatan pasti ada akibatnya."
"Dengan kata lain, dapat karma," sambung Dito. Tujuannya, agar ia tak ditunjuk untuk menjelaskan. Ia takut jika ditunjuk di saat ia tak tahu harus menjawab apa, dan berakhir kikuk.
Karena cogan, tidak boleh kikuk. Itu yang selalu Dito ingat.
Ilham mengangguk pelan. "Sekarang Bella. Jelaskan sedikit tentang Larangan Pacaran."
Bella terdiam.
"Kenapa diam?" tanya Ilham. "Angela? Bisa jelaskan tentang tema kedua kelompok kalian ini?"
Angela juga terdiam.
Sontak saja Ilham menghela napas kasar. "Khansa, silakan jelaskan tentang tema kedua kelompok kalian, dan alasan kalian memilih tema tersebut. Hanya jelaskan saja, tidak perlu diberi contoh. Karena jam pelajaran saya tersisa beberapa menit saja."
Khansa mengangguk pelan. "Di zaman seperti sekarang ini, banyak sekali anak muda yang berpacaran. Seharusnya mereka sudah tahu larangan pacaran dalam islam. Tetapi malah berpura-pura tidak tahu, dan tetap berpacaran. Dan tema ini dipilih untuk mengingatkan kepada semua saudara semuslim, untuk berhenti berpacaran. Mungkin itu saja, Pak."
Tepat setelah Khansa selesai berbicara, bel pulang berbunyi. Ilham mengangguk pelan. "Baiklah. Ezra dan Zerania, bawa mading yang kalian pegang ke meja saya di ruangan guru. Pertemuan hari ini saya akhiri, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
Ezra dan Zerania kompak mengambil tas dan mengikuti langkah Ilham ke ruangan guru. Khansa, Gilang, Alka, Dito, Angela, dan Bella kembali ke tempat duduk. Berbeda dengan teman-teman sekelasnya yang bersiap untuk pulang, Gilang malah membuka salah satu buku dan mulai membacanya.
Khansa menghela napas. Ia merasa, suatu hal tak mengenakkan akan terjadi. Dan benar saja. Ketika beberapa siswa dan siswi keluar dari kelas, ia mendengar ucapan nyaring yang ditujukan padanya.
"Sok alim banget sih."
Salah satu dari mereka, tertawa sinis. Dia bernama Sinta. "Gue yakin, dia lakuin itu, karena iri. Kan dia gak punya pacar. Hahaha."
"Iya dong, Ta! Kan gak ada yang suka sama dia. Upss!" sahut Litha.
'Astaghfirullah. Ya Allah ... kuatkan hatiku. Sadarkan teman-temanku.'
Khansa berdiri seraya membawa tasnya. Dan para siswi yang masih ada di kelas pun begitu. Khansa pun melangkah dengan cepat.
Namun sia-sia.
Lagi-lagi, Khansa dikelilingi beberapa siswi di kelasnya. Bedanya, kali ini lebih banyak. Dan gejala itu mulai terasa lagi. Khansa merasa pusing, jantungnya berdetak lebih cepat, dan napasnya tak beraturan.
"Sok banget sih lo buat mading dengan tema larangan pacaran," sinis Bella.
Angela maju satu langkah mendekati Khansa. "Pasti lo nyindir kita-kita. Iya kan?!" tuduhnya.
Khansa menggeleng pelan. "Aku ... gak bermaksud ...."
"Bohong!"
Angela mendorong Khansa dengan kuat hingga Khansa terjatuh ke belakang. Setelahnya, Angela dan siswi lainnya pun pergi meninggalkan kelas.
Khansa terdiam seraya menunduk. Rasanya ia ingin menangis. Namun entah mengapa, air matanya tertahan. Biasanya, hal ini terjadi jika pemikirannya mengatakan jika ada orang lain di sekitarnya.
"Nangis aja."
Spontan saja Khansa menoleh ke sumber suara. Yang baru saja berucap adalah Gilang. Rasa ingin menangis pun pergi. Khansa sedikit bingung. Ia kira, Gilang sudah pulang sedari tadi. Namun nyatanya tidak. Dan itu artinya Gilang melihat semuanya.
"Kenapa berkeringat dan ngos-ngosan gitu?"
Khansa terlihat gugup. "Ah. Nggak. Gapapa kok."
"Lo punya fobia?"
Bukankah Gilang sudah mengetahuinya? Kenapa ia bertanya lagi padanya? Atau mungkin ... Gilang lupa?
Jika Gilang lupa, maka Khansa akan berkata yang sebaliknya. "Nggak kok.
"Bohong. Kata Om Dirga, lo punya dua fobia."
Khansa terdiam. Rupanya Gilang mengingatnya.
"Kalau yang satu acrophobia, apa fobia yang satunya itu ... scopophobia?"
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Segala Dalam Diam [END]
Espiritual[LENGKAP] ______________________________________________________________ "Gue cinta sama lo, Al." "Aku menyuruhmu untuk mencintai Allah, Gi. Bukan mencintai aku." "Gue tahu. Tapi rasa ini perlahan tumbuh dengan sendirinya, Al. Lo mau j...