Segala Dalam Diam : 10

693 91 15
                                    

Bagian Sepuluh.

Khansa tersenyum seraya memandang langit-langit kamarnya. Entah kenapa, ia merasa bahagia.

Teman.

Kata itu selalu terngiang di kepalanya.

Kini, Khansa berpikir. Apakah kedepannya akan lebih baik? Apakah ia dan Gilang akan menjadi teman selamanya? Atau mungkin akan sebaliknya?

Memikirkan semua kejadian-kejadian yang datang menghampirinya membuat Khansa mengantuk. Ia terlelap dengan bibir yang masih melengkung ke atas.

| Segala Dalam Diam |

Di tempat lain, Gilang pun sama. Ia berpikir. Apakah ia tak salah mengambil langkah? Apa bisa, Khansa menghilangkan fobia yang ada pada dirinya? Dan apakah bisa, ia menghilangkan fobia yang ada pada diri Khansa?

Entahlah.

Gilang tak yakin ia bisa.

Namun jika tidak bisa, maka ia akan berusaha menjadi teman yang terbaik untuk Khansa.

Itu tak masalah bukan?

Gilang menghela napas seraya menatap langit malam yang indah melalui balkon kamarnya. Tiba-tiba saja pintu kamarnya dibuka. Tanpa melihat ke belakang pun, Gilang sudah tahu siapa yang datang.

"Hey, kembaran. Belum tidur?"

"Sudah."

Ghina tersenyum misteri. Ia menepuk-nepuk bahu adik kembarnya dengan ritme yang cepat. "Tar? Tara? Tara, bangun!"

Kini, Ghina menggoyang-goyangkan bahu Gilang dengan cukup keras. "Tara? Lo tidur berjalan? Bangun woy!"

"Apaan sih, Nar?"

Sontak saja Ghina tertawa terbahak-bahak. "Apaan, apaan. Kan lo sendiri yang bilang, lo tidur! Ya gue bangunin lah!"

"Ngeselin."

Ghina meredakan tawanya. Ia tersenyum dan memeluk kembarannya. Memberikan kehangatan di tengah dinginnya angin malam. Bagaimanapun, Gilang adalah adik satu-satunya yang ia miliki. Saudara satu-satunya yang ia miliki. Teman bercanda dan pengertian satu-satunya yang ia miliki.

Gilang ikut tersenyum. Ia membalas pelukan kakak kembarnya. Bagaimanapun, Gilang menyayangi sang kakak melebihi apapun. Dan sebenarnya Gilang tahu, niat kecil yang tersembunyi dari pelukan Ghina. Yaitu meminta maaf lewat pelukan. Dan Gilang tak masalah akan hal itu.

"Jadi lo belum tidur?" tanya Ghina dengan posisi yang masih sama.

"Seperti yang lo lihat, Nar."

"Kenapa?"

"Gue udah bilang sama Al. Kalau gue ...."

"Al?" Ghina memotong ucapan Gilang dengan cepat.

"Khansa Aleandra."

"Oh, teruskan."

"Kalau gue mau jadi temennya dia. Seperti yang lo suruh beberapa hari lalu. Dan malam ini, gue mikir. Apa gue bisa bantu dia buat hilangin fobia yang ada di dirinya? Dan apa dia bisa menghilangkan fobia yang ada di diri gue? Sementara kami gak bisa menghilangkan fobia yang ada di diri sendiri."

"Insya Allah bisa, Tar."

Gilang mengeratkan pelukannya dengan Ghina. "Apa yang membuat lo begitu yakin?"

"Tidak ada. Tapi gue yakin, kalian berdua bisa. Dan endingnya fobia kalian berdua hilang atau tidak? Kita lihat saja nanti."

| Segala Dalam Diam |

"Oh iya, gue baru inget!" pekik gadis bernama Sinta dalam sambungan video call WhatsApp bersama Angela, Bella, Litha, Sinta, dan Zerania.

"Apa tuh?" tanya Bella dengan penasaran.

Langsung saja, Sinta menceritakan semuanya.

Siang menjelang sore itu, Sinta keluar kelas bersama teman-temannya, usai merisak Khansa. Tiba-tiba saja suara gawai miliknya membuat ia menghentikan langkah. Setelah menyuruh teman-temannya untuk pulang tanpa perlu menunggu dirinya, dengan segera Sinta membuka gawainya dan mulai menjelajah di beberapa aplikasi. Dan ternyata notifikasi yang muncul di layar gawainya bukanlah hal yang penting.

Ketika Sinta hendak melanjutkan langkahnya, suara dari dalam kelas berhasil membuat ia penasaran. Ia bergeser sedikit lebih dekat dengan pintu kelasnya, dan mendengarkan.

"Hmm ... iya."

"Gimana bisa? Acrophobia dan scopophobia. Takut ketinggian dan takut ditatap. Tunggu, kalau gue tatap lo, apa lo juga takut?" tanya seseorang yang jika didengar dari suaranya, ia adalah laki-laki.

"Tidak. Hanya ketika aku ditatap oleh banyak orang."

Sinta membekap mulutnya sendiri. Dengan segera, ia pergi dari tempat itu.

"Menurut lo, itu siapa?" tanya Litha.

"Khansa lah!" jawab Sinta dengan cepat.

"Terus cowoknya siapa?" tanya Litha, lagi.

"Ya mana gue tahu."

Tiba-tiba saja Bella berdecak. "Berisik banget sih kalian! Yang terpenting, kita udah tahu apa kelemahan dia! Iya gak, An?"

"Iya, Bel. Lo bener lagi." Angela tertawa ringan. "Oh iya. Ze, lo gak mau gabung ke geng kita?" tanya Angela.

Zerania menggeleng dan menjawab dengan tegas. "Gak."

"Kenapa sih, lo selalu nolak kalau kita ajak gabung?" Bella ikut memberi pertanyaan.

Spontan, Zerania tertawa sinis seraya tersenyum miring. "Apa untungnya gue gabung ke geng kalian?"

"Untungnya ...."

"Apa? Bisa berbuat semaunya? Bisa merendahkan orang lain? Bisa merisak orang lain seenaknya?" potong Zerania dengan tatapan remehnya.

"Walaupun gue bukan orang baik. Tapi setidaknya gue menghindari hal-hal buruk dan berusaha menjadi baik," lanjut Zerania lalu mematikan sambungan video call.

Bersambung ....

Segala Dalam Diam [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang