Point Of View

24 1 0
                                    


Meninggalkan sejenak kisahku bersama moli ataupun ity. Kali ini datanglah seseorang yang sudah ku duga. Ia adalah ayu.

Saat itu, wati sedang menghampiriku di rumah. Kami bercerita apa saja mengenai masa depan. Lalu, aku kepikiran untuk melakukan video call ke ayu karena ia pernah meminta padaku untuk menghubunginya jika ada wati bersamaku. Ayu dan wati memang sudah saling kenal dan akrab. Kami pun berbincang dan saling merindukan satu sama lain. Aku biarkan ayu dan wati berbicara lebih banyak berdua karena mereka jarang sekali mendapatkan momen ini. Wati masih berharap ayu akan datang lagi ke rumahku. Aku juga sempat bergurau pada ayu bahwa ia harus kesini untuk melanjutkan kisah sebagai anak dari mamaku. Aku akan mencari uang dengan giat dan menafkahi ayu jika ia memang benar-benar akan ke sini. Atau jika ayu ingin bekerja, tentu saja ayahku akan mencarikan untuknya di sini. Tak perlu ada yang di khawatirkan selain ayu harus mau saja. Setidaknya itulah candaanku. Aku mengatakannya sambil tertawa. Tak ada keseriusan di dalamnya apalagi itu terbilang masih pagi untuk berbicara hal-hal berat. Tapi jika terjadi pun, aku tidak keberatan. Mengingat mama dan keluargaku begitu senang dengan ayu. Ayu seperti pengisi di dalam keluargaku. Aku tak bisa melakukan apa yang ayu lakukan. Aku lebih banyak mencintai keluarga dalam diam, di balik layar dan melalui doa. Memberikan apa yang keluargaku ingin tanpa pernah basa-basi. Aku tidak tau kenapa aku berbeda dari anak-anak yang lain. Aku tak bisa menjadi teman untuk orangtuaku tapi aku bisa melakukan itu pada adik-adikku. Padahal pikiranku selalu tertuju pada mama khususnya. Seperti, aku merindukannya sangat banyak bahkan ketika ia bersamaku sepanjang waktu. Aku ingin memeluk dan menciumnya tapi aku terlalu malu. Aku tidak bisa menunjukkan diriku dengan cara seperti itu. Aku punya cara tersendiri. Aku memang anak perempuannya tapi aku tidak bisa menjadi temannya. Seperti, teman bicara pada teman. Menikmati dan santai. Aku menghormati mamaku di kehidupan nyata. Tentu saja. Meskipun di depan teman-temanku, aku bertingkah begitu santainya tapi sebenarnya itu berbeda ketika aku hanya berdua saja dengan mama.

Apakah aku begitu buruknya sebagai seorang anak? Seperti ada suatu penyakit dalam diriku. Aku tidak bisa melakukan apapun untuk cinta. Meski aku tau bahwa aku mencintai mamaku/seseorang, tapi aku hanya bisa diam seribu bahasa. Menangis dan berdoa ketika aku merindukan seseorang sangat banyak tanpa pernah memberitahu. Aku ingin hidup seperti manusia pada umumnya. Cinta katakan cinta, benci katakan benci atau hal lainnya yang ingin ku katakan. Maafkan aku, tapi berbicara tentang orang yang ku cintai benar-benar membuatku terluka dalam. Aku lah satu-satunya kesalahan karena tak bisa menunjukkan perasaanku. Hingga kini, aku masih belajar untuk menjadi teman dan juga anak perempuannya dengan baik. Pasti bahagia jika menemukan cinta dan juga pertemanan dalam satu orang bukan? Aku ingin menjadi seseorang itu untuk mama. Aku tau aku bukanlah satu-satunya yang merasakan ini. Beberapa dari kalian mungkin pernah dan ada di posisi ini juga.

Kabar baiknya adalah mama selalu membanggakanku dari belakang meskipun di depanku ia bersikap seolah menjatuhkan mental anak. Aku tidak tau itu hal baik atau buruk, tapi setidaknya ia begitu mencintaiku dengan caranya. Berbicara pada teman-temannya, bahwa ia bersyukur punya anak sepertiku. Dan aku pikir, semua orang tua pasti akan melakukan hal yang sama.

Last but not least, aku percaya cinta tanpa syarat itu ada. Tidak peduli seberapa buruknya seorang anak. Kami saling mencintai. Hanya saja, tak pernah menunjukkan dengan jelas perasaan itu untuk satu sama lain.

Kelak jika aku tlah memikirkan untuk menjadi seorang ibu, sudah banyak hal yang ku pelajari dari sekarang. Aku tak ingin anakku merasakan posisi ini. Aku ingin, jika ia melewati hari buruk di luar sana dan butuh sebuah pelukan, ia tinggal mengatakannya saja padaku. Aku tak ingin ia tak memiliki tempat untuk bersandar. Tempat untuk beristirahat. Aku selalu ingin menjadi arena bermain untuk anakku. Hanya ada kesenangan dan keseruan di dalamnya. Aku ingin anakku menghormatiku karena ia paham bahwa aku lah ibu yang melahirkannya. Ibu yang akan siap menjaga dan mencintainya di segala bentuk kehidupan. Dan tentu saja, akan ada fase membangkang bagi seorang anak pada orangtuanya. Saat itulah, satu-satunya hal yang tak ingin ku lakukan adalah memukul dan mencaci anakku.

REVEALSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang