Raina agista punya banyak alasan untuknya menyukai hujan. Mulai dari bau, suara rintikan, hingga hawa dinginnya itu. Ketika kebanyakan orang mengidentikan saat hujan itu dengan kegalauan atau bahkan kerinduan. Ia lebih mengidentikan dengan kedamaian.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
••••
Pak wisnu masih sibuk menulis beberapa soal Matematika di papan tulis. Suasana kelas yang dia ajar ini sangat sunyi. Tidak ada suara keributan, suara berbicara atau lainnya. Mereka benar benar hanya menyalin catatan. Berbeda dari kebanyakan guru yang suka ketenangan. Pak wisnu justru tidak menyukai kelas yang sangat sepi, seperti tidak berwarna. Jadi, pak Wisnu sedikit ingin meramaikan atmosfer.
"Siapa yang bisa mengerjakan soal ini?". Suara Pak Wisnu berhasil mengankat seluruh dagu siswa kelas XII- MIPA 1 ini.
Jika pada umumnya, ketika guru memberikan sebuah soal. Tidak ada siswa yang ingin menjawabnya. Berbeda dengan kelas saat ini. Hampir seluruhnya mengangkat tangan, berebut ingin mengisi jawaban di depan. Tidak salah jika banyak suara kini berseru. "saya, pak" "saya duluan pak yang angkat tangan" "saya, pak" "saya, saya, saya, saya".
"Aliya, silahkan maju!". Pak Wisnu memilih siswa perempuan dengan hiasan pita kuning di rambutnya.
Dengan sangat percaya diri dan merasa menang pak Wisnu menunjuknya, Aliya berjalan kedepan untuk mengisi jawabannya.
Setelah Aliya menyelesaikan jawaban, Pak Wisnu mengangguk bahwa jawaban Aliya benar. Aliya tersenyum senang lalu menaruh spidol itu di meja guru.
"Oke, Karna banyak yang mau mengisi. Bapak buat soal satu lagi". Ujar pak wisnu lalu menuliskan soal di papan.
"Siapa yang mau mengisi?".
"saya, pak" "saya, pak" "saya, pak".
"Oke, Radika. Silahkan mengisi".
Kesal dibuatnya, Seorang siswi berkacamata itu protes. "Bapak, Saya yang angkat tangan duluan!".
Radika pun maju dengan rasa tidak enak kepada Siska yang sedang menatap kepadanya.
"mau ngisi?". tanya Radika,Siska mengangguk. Pak Wisnu yang mendengar percakapan mereka itu protes.
"Apa-apaan itu, Radika cepat!".
Radika mulai menuliskan jawabannya, soal yang sedikit namun jawaban yang panjang. Dan jangan ditanya lagi, jawabannya sudah pasti benar.
Bel tanda istirahat berbunyi. Radika membereskan buku-bukunya lalu memasukannya ke dalam tas.
"Kantin gak dik?". Tanya Renan
"ayok lah dik, nongkrong di mang ujang". Ajak Andi
"Sorry guys, gue gak ikut gabung dulu ya. Mau ke kelas pacar". Jawab Radika lalu berjalan dengan cepat menuju kelas Raina yang sedikit jauh dari kelasnya.
Aji menatap kearah teman temannya "Radika punya pacar?". Tanya Aji bingung, ia tidak mengetahui sama sekali.
"lo ga tau?". Andi bertanya balik.
"Udah yok, keburu rameh di mang ujang". Ujar Renan, tangannya merangkul bahu Aji dan Andi.
•••••••
Melihat kedekatan Radika dan Raina saat membaca buku bersama di perpustakaan, membuat seseorang panas. Seseorang itu berpikir bahwa dia harus cepat cepat memisahkan keduanya. Jika dirinya tidak bisa dengan Radika, Semua orang juga tidak boleh dengan Radika.
Raina menatap radika yang kini sudah menjadi pacarnya. "Kamu ga gabung sama temen kamu?".
"Lagi mau sama pacar aku, pacar aku cantik banget. sayang kalo ga di pandang gini". Radika menatap penuh rasa sayang kearah Raina.
"Ih, apaansi"
"Besok aku ada tanding futsal sama sekolah lain, tandingnya di sini".
"Sama sekolah mana?".
"SMA Harapan bangsa". Jawab Radika, ia menyingkirkan rambut yang menutupi mata Raina. "Pulang sekolah anterin aku yaa?".