♪ tembang redup si pemilik nala ♫

74 12 11
                                    


᭑ : dari si kehilangan kepingan



tiap hari ditunggunya, dari pagi sampai malam. tapi rasanya kenapa sama saja? remang. bagai tak ada kehidupan yang ditelan redup gelita sang rembulan. tersisa remah cahaya juga himpunan renjana yang terkubur dalam. entah di mana, yang mencari sudah jengah ingin pindah alam.

telisik bisik sisi kelam hatinya yang bersisik berlapis-lapis tanpa ada yang mengetahuinya. berisik bunyi bising kemacetan yang tak diterimanya menelan satu manusia berharga di antara miliar manusia. gemericik rintik hujan menghapus jejaknya yang kini sudah tak bersisa bagai denai serigala di hutan rimba.

menghalau sinar diwasasri kemudian menari-nari di antara ribuan hati yang siap hadir. berdiri tak jauh dari sang awan kumulus pun paksi hinggap dengan siluet yang tertangkap dengan mudah menghancurkan pandang yang menjadi petanya.

rasanya masih terperangkap di jala besar yang sangat erat, erat, merengkuh tubuhnya yang berat, berat, menjadi tumpuan kemarahan dunia dan manusia seisinya menjadi kumpulan molekul yang tetap saja akhirnya tidak bisa bersatu.

harapan yang dilontarkannya kemarin dikira akan berhasil tersampaikan kepada langit petang. dikiranya senja akan mendengar. sagara bilang benar karena yang bertanya dia, namun kenapa rasa sesungguhnya adalah siksa? kenapa senja dan laut penaka jala yang sengaja menangkap lalu menyiksanya.

hidup di antara ribuan asa yang sudah disimpannya dalam-dalam. esoknya di desember kelabu seseorang memintanya untuk membongkar. sagara kira semudah itu, nadera kira semudah itu. memang mudah, menemukan kepingan memori namun sangat sukar menyatukannya.

nadera pikir semesta hanya keasyikan bergurau sampai kelewatan. angin topan terkirim yang bentuknya seperti lawakan. hujan badai dan awan mendung di hatinya terasa sebuah bercandaan yang terlalu serius dan nyata seperti ingin berbuat macam-macam, dengan hatinya. juga takdirnya.

kalau memang semuanya ditakdirkan hilang untuk nadera, kalau sungguh memorinya tidak bisa pulih. maka biarlah.

semuanya kini mengalir seperti air, persis dengan rasa hilang yang kuat dirasakannya menderu deras di dalam jantung hingga saluran pernapasannya.

astaga, ini masih sesak.

nama aelius atharwa terngiang. pun sagara samudera yang berkali-kali ia teriakkan namun tidak bersuara. pita suaranya seakan tercekik, saraf otaknya buntu entah mau berpikir apalagi. seluruh engsel tubuhnya dikunci rapat-rapat tak boleh bergerak.










rasanya seperti jatuh dari ujung alam raya.






helai rambutnya dibelai angin beserta daun pohon kelapa yang melambai-lambai katanya nanti kukembalikan namun sejak bertahun-tahun lalu hingga saat ini pula tidak dikembalikan. kata sang surya yang sabar tetapi semua di dunia bekerja secara terburu-buru dan yang telah lewat tidak bisa dikembalikan apalagi dikendalikan.

gejolak amarahnya memuncak pula dengan renjananya yang membuncah melawan terpaan siklon datar yang berhembus lurus tidak terkecoh kan, berdamai dengan bilik-bilik ruang jam pasir yang semakin cepat, semakin cepat, menurun, menurun.








hilang sudah rasanya, hambar.






emosinya membeludak saat gema dunia tak bergeming sejak saat tenggelam bersama raga semesta yang besarnya tidak terhingga memaksa nadera menyesuaikan dengan segalanya yang masih terlihat samar yang masih berbekas nanar yang terhempas melampaui radar tidak bisa tergapai hingga tubuhnya lemah terdampar.




ceritera rasa.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang