BlackPink dan Senja

2.4K 207 22
                                    

Itu adalah pusara Mama yang baru saja mereka tinggalkan. Sabtu pagi Papa mengajak datang ke sana, berkunjung, membersihkan, mendoakan.
Sekarang mereka ada di mobil. Mau pulang. Papa menyetir, Shani di sebelahnya, Chika di belakang jok Shani, Fiony di tengah, Gracia di belakang jok Papa.

Hening.

Fiony ngantuk, Chika bertopang dagu di jendela, Gracia dan Shani... Masih terlalu dini untuk mengakhiri perang sepertinya. Bahkan semalam mereka memaksa bertukar kamar. Gracia sama Chika, Shani sama Fiony. Itu juga yang bikin Fiony tak nyenyak tidurnya. Semalaman malah keringat dingin merasa bersalah sama orang yang tidur di sampingnya.

"Gimana laptop kamu, Shan?"

"Paling cepet lima hari, Pa."

"Datanya?"

"Belum tahu nanti masih ada apa enggak. Nanti Shani coba nanya."

"Salah sendiri nggak inisiatif ngopi ke flashdisk," seperti bergumam, Gracia menyambar dengan atensi masih penuh pada jalanan.

Shani melirik dongkol, sinis sekali. "Nggak usah nyalahin orang lain buat nutupin kesalahan sendiri."

Gracia memutar bola mata, berdecih. "Emang aku nggak salah, kok."

Dengusan Shani mengakhiri percakapan. Kedua gadis yang berperang itu kembali beratensi pada jalanan--dengan saling sebal. Chika tidak tertarik. Fiony lirik sana lirik sini... Tubuhnya tiba-tiba dingin lagi.

Hening lagi.

Jalanan mulai ramai. Pagi tanggung menuju siang. Weekend begini orang-orang ramai menggunakan jalan untuk pergi ke tempat hiburan. Papa menyetir mobil dengan kecepatan sedang, cenderung pelan. Matanya awas pada jalanan dan sesekali melirik keempat putrinya. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk setir seperti takut-takut mengungkapkan sesuatu.

"Kalian... Kangen Mama?"

Takut-takutnya memang bisa dibenarkan. Tak ada tanggapan jelas dari putri-putrinya. Hanya melirik lantas kembali kepada lamunannya masing-masing, cuma Shani yang memberikan senyum kecil sebentar sebelum kembali melamuni jalanan.

Terasa canggung...

"Pa, Papa sama Mama dulu nggak KB, ya?"

Kecuali Fiony, deng.

"Hah?" Papa melirik putri bungsunya. Wajah dengan satu tahi lalat di bawah mata kirinya itu serius, dia memang sedang bertanya sungguhan.

"Kok kita berempat lahirnya deket-deketan banget?"

"Ohh..." Papa manggut-manggut paham. Cukup menarik juga pertanyaannya ternyata, Cici-cicinya juga jadi ikut memperhatikan. "Dulu Papa pengen punya anak kembar. Setiap lahir solo terus tapi. Ya udah, Papa bikin lagi aja biar lahirnya deketan. Kan jadi berasa anak kembar."

Keempat putrinya manggut-manggut. Baru tahu semua.

"Pa?" Itu Gracia yang tiba-tiba saja berkerut dahi. "Tapi, kok, muka kita berempat nggak pada mirip, ya?"

"Ohhh itu..." Papa manggut-manggut. "Kalian anak pungut."

"Hah?!" Kompak.

"Sumpah?!" Gracia.

"Pa, Shani liat Chika sama Fiony lahir dari Mama. Ini yang pungut, aku? Atau Gracia?" Yang paling tua yang paling panik.

Oiya, benar juga. Aduh Gracia jadi menyesal nanya itu. Ia jadi panik sungguhan. Pantatnya pergi dari dudukan jok, kedua tangannya memegang kepala jok Papa, melongok yang sedang duduk menyetir di sana. "Pa?!" Dan menuntut jawaban.

Kisah aman tentram keluarga ini... Apakah akan mulai diberi cobaan sekarang?

Papa diam. Kecepatan mobil menurun, menepi, berhenti. Menunduk, jemari Papa bertaut kuat pada setir.

DingDongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang