Masih ingat dengan kado ulang tahun Fiony dari Papa yang diundur sampai weekend? Sekarang sudah weekend. Sabtu sore, hampir malam minggu, sedikit lagi langit malam minggu akan sepenuhnya hitam. Dan Fiony, si bungsu yang baru saja menghabiskan jatah kado dari Papa, berjalan dengan jantung bertalu lebih kencang dari biasanya. Apa kado itu? Tak lain dan tak bukan adalah uang tunai seharga lima tiket masuk Dufan. Fiony baru saja membayari empat orang temannya bermain di Dufan dalam rangka pajak ulang tahun. Dan sekarang Fiony baru pulang. Sudah hampir malam dan Fiony baru pulang. Sudah lewat berjam-jam dari izin waktu yang Papa berikan dan Fiony baru melangkah masuk ke dalam apartemen.
Marah sudah sang papa.
"Udah jam berapa?"
Menunduk, Fiony menatap jempol kedua kakinya di atas lantai ruang tengah yang sedang saling bergantian menindih. Juga beberapa kali ditindih Cimi yang sudah manja di bawah sana. "Maaf, Pa. Tadi temen Fio ada yang mabok."
"Mabok?!"
"Ara, Pa!"
"Mabok?!"
"Abis naik kora-kora, Pa!"
Itu suara tawa Chika yang sedang rebahan di sofa. Cicinya Fio yang beda tingkat paling tipis itu sedari tadi berada di sana. Atensinya memang bukan penuh pada sang papa yang sedang memarahi sang adik, tetapi siapa pula yang tuli dan buta dengan hal itu saat ada tepat di tempat yang sama?
Bertolak belakang dengan Chika, jantung Fiony justru semakin cepat dan keras talunya. Papa natapnya udah kayak mau nyoret nama Fiony dari kartu keluarga aja, sih.
"Yaudah."
Lega lah Fiony.
"Papa mau pergi sebentar. Kamu jangan pergi-pergi lagi."
Fiony tentu mengangguk. Fiony memang tidak akan ke mana-mana. Mungkin ada sedikit niat untuk berkunjung ke apartemen Ara, menjenguk temannya yang benar-benar seperti telah memuntahkan semua makanan di perut beserta cacing-cacingnya. Tapi mungkin besok saja. Fiony capek walaupun Fiony juga merasa bersalah tadi memaksa Ara ikut naik kora-kora. Ara saja yang aneh. Naik tornado mampu, naik kora-kora malah ambyar.
Sehabis melepas Papa pergi sepenuhnya melewati pintu, Fiony menjatuhkan diri di sofa, rebah ke punggung sofa, menindih kaki Chika yang sedang lurus rebahan.
"Issh, mandi dulu sana!" Digunakanlah oleh Chika kakinya yang tertindih itu untuk mendorong, agar adiknya cepat beranjak. "Kumel," tambahnya.
"Nih, nih, kumel, nih!" Fiony jepit kaki yang mendorongnya itu tepat di ketiak.
"Fiony!" Dan segera berlari. "Hahahaha." Dengan tawa.
"Ihhhhhh."
Adik menjijikkan.
Belum tiba adiknya yang berlari ke arah kamar, Chika mendapati kedua kakaknya juga lari-larian dari arah kamar mereka.
"Papa mana?!" Itu Gracia yang sampai duluan.
Chika rebah santai kembali, mulai acuh dengan bekas ketiak sang adik. Mengangkat remot televisi, ia meningkatkan volume suara. Berisik banget punya saudara.
"Pergi."
"Bawa mobil?" Dan itu Shani yang sampai beberapa detik setelah Gracia.
"Ya."
Mendapat jawaban itu, Shani dan Gracia lalu ber-yah ria.
Shani melipat tangan di dada. "Adil berarti. Sama-sama naik Gojek." Dan Gracia yang tahu kalimat itu untuk dirinya, sekali lagi kecewa. Lebih ke kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
DingDong
ФанфикSatu unit apartemen; empat perempuan, satu laki-laki; empat saudari, satu ayah; satu keluarga. Udah cukup, enggak mau nambah lagi. 19 September 2020