Cimi Kencing!

903 128 50
                                    

Pusara itu menjadi alasan Gracia memasang wajah sendu. Berjongkok di samping pusara itu, Gracia biarkan tiga saudari dan satu calon mantan mama tirinya berdiri menungguinya di belakang, menunggui Gracia menyelesaikan kerinduannya terhadap yang termakam di bawah pusara sana.

Beberapa tuang air bening Gracia siramkan ke pusara itu, meresap, menyisakan tanah basah. Gracia tutup lagi botol ungu kesayangannya, lantas tersenyum sendu. “Kamu di sana bahagia, ya, Senja? Sampai pohon ini tumbuh.”

“Kan emang dari dulu pohonnya ada di sit--”

“Ssst!”

Fiony tutup mulut, sehabis mendapat sikutan dari Chika di samping kirinya.

“Atau kamu marah di sana? Sampai beberapa daun ini warnanya jadi merah gini?”

“Itu kan emang pohon pucuk mera—”

“Ssst!”

Lagi-lagi Fiony tutup mulut. Kali ini oleh sikutan Ci Shani di samping kanannya. Tapi Fiony beneran kesel denger monolognya Ci Gre, sumpah.

“Kamu kangen aku nggak, Senja?” Gracia kembali memasang senyum sendunya. “Tetep jadi cupang ungu, ya, di sana,” katanya. Ia petik satu daun pucuk merah yang warnanya merah, ia taruh di atas tanah basah milik makam Senja—entah apa esensinya, Gracia juga nggak paham. “Jangan berubah warna di sana. Kecuali warna hitam. Tapi bagusan ungu.”

Atau kuning saja, mungkin? Ah, tapi tidak. Senja kan dikubur bukan digoreng. Tidak mungkin warnanya jadi kekuningan.

Dua kali tarikan ingus bening, Gracia tarik napas panjang-panjang, membuangnya untuk melegakan perasaan. Ia menengok ke belakang, mengulurkan tangan pada Shani. “Ci…”

Shani membantu. Adiknya ditarik berdiri, dipuk-puk kepalanya, ia mencoba menenangkan.

“Apa lihat-lihat!?”

Baru mau tenang, Gracia malah dibuat misuh-misuh. Ia emosi pada bocah lelaki bersepatu motif mobil yang daritadi memperhatikannya seperti menonton orang gila.

Tapi bocah lelaki itu langsung terbirit lari menjauh bersama sepatu motif mobilnya yang berkelip-kelip sedetik setelah dikerasin Gracia.

Sejujurnya, bocah lelaki itu tidak salah. Ya, siapa yang tidak heran pada orang-orang yang melayat di taman kecil parkiran gedung apartemen? Di bawah pohon pucuk merah yang tingginya hanya setinggi rata-rata gadis SMA Indoneisa?

“Sudah selesai?”

Nah, itu dia Tante Mama. Tadi bertanya dengan muka panik kecil-kecil terlihat dari wajahnya. Tapi tetap lembut, kok. Memang Tante Mama ini orangnya lemah lembut. Gara-gara ngebet nikahin Papa aja empat gadis itu jadi tidak suka–-dua gadis di antaranya malah nggak sukanya diambah karena Tante Mama ternyata mamanya Bobby.

Tapi lupakan Tante Mama dan lemah lembutnya. Yang perlu digaris bawahi di sini adalah muka paniknya.

Wah, pasti Tante Mama takut telah nih ke butiknya.

Wah, berarti empat bersaudari sudah berhasil nih sengaja lama-lamain.

Sayangnya, kemudian Gracia mengangguk. Yang berarti menyetujui kalau permintaan melayatnya ke pusara senja sebelum ke butik sudah selesai. Dan berarti mereka harus segera berangkat ke butik untuk fitting baju.

Untuk nikahan Papa!

Aih, tidak adakah cara lain biar ke butiknya nggak jadi aja?

“Ayo, berangkat sekarang.”

Ya sudahlah.

Mereka berjalan, menuju mobil Tante Mama yang masih terparkir, meninggalkan pusara Senja di bawah pohon pucuk merah.

DingDongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang