Ci Shani Gagal Nikah

1.2K 137 18
                                    

Malam ini hujan di luar juga deras. Ada banyak air yang juga jatuh, yang juga menabraki kaca jendela, yang juga tertahan di sana menjadi titik air.

Sama seperti tempias hujan malam ini yang hinggap di kaca jendela layaknya kemarin malam, kekecewaan itu masih ada di sana. Masih tertinggal.

Sepuluh menit, entah itu kurang atau lebih, Shani duduk di samping kursi kemudi, menatapi jalanan di luar yang ramai tetapi sunyi dari dalam sini. Di mobil yang melaju sedang itu, di dalamnya lebih sunyi. Kelima orang di dalamnya saling diam, seolah siapa pun yang berbicara akan dilempar turun dari mobil dan ditinggalkan di pinggir jalan. Jadilah dia gelandangan.

Shani beralih pandang ke depan, di mana wiper terus bergerak ke kanan ke kiri menghapus jejak tempias yang berusaha menghalangi pemandangan yang berusaha dijamah mata. Ke kanan, ke kiri, ke kanan, ke kiri, ke kanan. Ke kanan yang terakhir itu, Shani ikuti. Shani menengok ke kanan, di mana Papa mengemudi dengan khusyuk.

Papa tampan malam ini. Pakaiannya rapih dengan kemeja. Rambutnya klimis dibelah samping. Juga, jarang-jarang sekali Papa mencukur habis jenggot dan kumisnya. Andai kekecewaan itu tidak sedang merundung, Shani akan tak hentinya menggoda Papa, menertawai. Sama seperti ketiga adiknya yang membisu di belakang, andai kekecewaan itu tidak sedang merundung, mereka tak akan hentinya menggoda, menertawai Papa.

Tapi kekecewaan itu benar sedang merundung.

Shani kembali beralih ke depan, menembus kesibukan wiper, menatap jalanan yang terus terjamah dan terlewati. Jemarinya yang bertaut di atas pangkuan, di atas gaun kasual yang membalut sampai lutut, saling menekan. Shani kesal saat dia mulai mengingat tentang kemarin malam.

***

Shani melangkah paling depan untuk kemudian ditinggalkan oleh Gracia dan Fiony yang terus melangkah memasuki kamar. Mengacuhkan Papa yang menyambut di ruang tengah--tidak dalam artian sebenarnya.

Saat satu pintu kamar itu genap tertutup setelah dimasuki kedua adiknya, Shani menoleh ke Papa--Papa yang sama muramnya di muka.

"Pa..."

"Besok ada makan malam. Bilang ke adik-adik kamu."

Dua patah kalimat itu, Papa lantas memulai langkahnya untuk meninggalkan Shani.

"Besok kamu jemput Chika, ya."

Dan setelah satu kalimat tambahan itu, Shani benar-benar menjadi satu-satunya yang berdiri di sana.

Shani menatap lantai, di mana kedua telapak kakinya menapak tanpa alas. Ada yang begitu berat di hatinya, yang entah mengapa Shani rasakan sampai ke ujung bawah sana, menyusahkannya untuk memulai langkah. Ia menghela napas, untuk tidak menemukan kelegaan.

Namun, langkahnya tetap terayun--mau tidak mau. Ia juga akan ke kamar seperti tiga orang lainnya lakukan.

Sampai di depan pintu kamar Fiony, di mana Gracia juga ikut masuk ke dalamnya, perjalanan Shani terjeda lagi. Ia menatap pintu kayu itu.

Gracia.

Gracia tega, anjir! Gracia, kan, tahu Shani takut hantu! Mau lagi dalam mode sedih juga Shani tidak akan nyenyak tidur sendirian. Kurang ajar memang Gracia. Kalau ceritanya mau pisah ranjang, kenapa tidak Gracia saja yang tidur sendirian dan biarkan Shani tidur ditemani Fiony?

DingDongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang