Langit bersemu jingga saat itu. Kumandang azan maghrib baru saja terdengar, tersisa rapalan doa sesudah azan oleh muazin saja yang masih terdengar lewat speaker yang entah di mana letaknya dipasang.
Fiony tengah berjalan, melangkah santai bersama cicinya yang paling muda. Mereka, Fiony dan Chika, masih mengenakan seragam sekolah lengkap dengan tas dan sepatunya.
Fiony heran. Kenapa Chika mengajaknya menunggu pulang sekolah sampai sore dulu seperti ini? Padahal biasanya Chika yang marah-marah kalau Fiony ditungguin pulangnya agak lama. Terus, kenapa Chika mengajak pulang lewat sini? Berjalan kaki di gang sempit dengan dua tembok tinggi yang menghimpit yang bahkan tak pernah Fiony tahu kalau ada. Cicinya ini lagi aneh. Fiony ingin sekali menanyakan semua keheranannya itu langsung pada Chika yang berjalan di sampingnya. Tapi, katanya kalau lagi azan nggak boleh ngomong. Jadi, Fiony tunda dulu.
Speaker redam seutuhnya, doa sesudah azan dari muazin sudah selesai. Langsung Fiony bertanya, “Ngapain lewat sini, sih, Ci?”
“Kan jalan rayanya tadi longsor.”
“Kapan? Kok bisa longsor? Kok aku nggak tahu?”
Chika langsung terhenti langkahnya, oleh Fiony yang bertanya dengan semangat sampai mencegat di depannya. Tentu saja Fiony terkejut. Masa berita sebesar itu, Fiony tidak tahu.
“Tadi jam sepuluh. Longsor gara-gara ada Titan. Yang dikasih tahu cuma anak-anak kelas dua belas sama Pak Mufid. Katanya kalau maghrib Titannya berubah jadi kecil.”
“Bohong.”
Pasti bohong itu! Mana ada Titan! Ngawur Chika!
Tapi Chika memutar bola mata, ia angkat lengan kirinya ke depan wajah Fiony yang belum beranjak dari mencegat langkahnya. “Nih, lihat. Abis dicakar Titan.”
Iya, ada. Fiony lihat. Sebuah luka goresan di lengan itu. Warna merah kekuningan! Menyala! Seperti logonya Flashman! Ini apaan, sih?!
“WOY!”
“AAAK, TITAN!”
Belum selesai Fiony memikirkan soal Titan dan bekas cakaran Titan dan logo Flashman, seruan seseorang dari arah belakangnya mengagetkan Fiony. Buru-buru Fiony berlindung ke belakang punggung cicinya setelah keceplosan berteriak.
Sedangkan Chika, santai saja. “Ada apa, Om?”
Iya, seorang laki-laki berbadan tinggi besar, brewokan, pakaian hitam-hitam, yang menghampiri mereka.
“Mau jemput kalian.”
“Jemput?” Chika memastikan.
“Iya, ayo ikut!”
“Ganteng doang jemput cewe dalem gang.”
Fiony speechless. Ia intip wajah cicinya itu hanya untuk memberi muka tak menyangka.
“Yaudah, nggak jadi. Kalian saya culik aja.”
Mendengar itu, Fiony buru-buru kembali bersembunyi di balik punggung cicinya. “Ci…” Ia ketakutan.
“Mau culik kita?”
“Iya. Boleh?”
Chika mengangkat satu telapak tangan, “Nggak dulu. Saya lagi nggak mood diculik. Fionynya aja dulu, nih.”
“Oke.”
PENCULIKAN MACAM APA INI?!
“CI?!” Fiony tak habis pik- “AAA, CICI!”

KAMU SEDANG MEMBACA
DingDong
FanficSatu unit apartemen; empat perempuan, satu laki-laki; empat saudari, satu ayah; satu keluarga. Udah cukup, enggak mau nambah lagi. 19 September 2020