Shani bukanlah seorang fanatik gawai. Shani bukanlah seorang yang betah scrolling lini masa atau trending topic Twitter berjam-jam. Shani bukanlah seorang pengguna Instagram yang punya stok foto banyak untuk diunggah seminggu sekali atau sekadar selfie pakai filter We Bare Bears untuk dijadikan instastory. Shani bukanlah seorang yang seharian chatting bercandaan tanpa lompat menit di setiap balasan. Shani bukan seorang gabut.
Tapi kali ini, Shani tidak akan mengelak tentang kelakuannya yang pantas dibilang gabut. Ah, Shani kesal sekali. Berkali-kali Shani buka Aplikasi Line, berkali-kali Shani keluar Aplikasi Line, berkali-kali Shani buka kembali Aplikasi Line, tapi nihil. Pesan yang ia kirim berjam-jam lalu pada Bobby tak kunjung mendapat balasan. Bahkan, keterangan dibaca saja belum muncul sampai sekarang.
Bobby gimana, sih? Kemarin bilangnya besok mau ngajak lihat persiapan pameran. Ini sudah besok tapi Bobby bahkan tidak sekali pun memberi kabar tentang nasib ajakannya itu.
Shani mendesis, menarik napas dan membuangnya kuat.
"Ih, Shani. Jangan napas. Pala gue ikutan gerak."
Shani melirik pada Sisca, teman kuliahnya yang dari tadi sibuk gesrek menonton Drama Thailand dengan kepala berbantal perutnya. Lantas si Shani malah menarik-buang napasnya kuat-kuat berkali-kali agar perutnya naik turun lagi.
"Ah, bener-bener lu, ye." Mengangkat kepalanya agar mengambang di atas perut yang sedang berombak itu, Sisca menengok ke kiri, menatap tajam Shani, membiarkan tayangan drama di ponselnya yang dipegang horizontal itu terlewat mata selama beberapa detik.
Tertawa sejenak untuk kembali merasakan kepala Sisca bantalan lagi di perutnya, Shani menjatuhkan tangan kanannya yang memegang ponsel ke kasur, menerawang langit-langit kamar yang diberisiki oleh Bahasa Thailand dan sedikit deru hujan.
Selepas kuliah pagi tadi, Shani dan dua teman seperjuangannya di perkuliahan memilih nongkrong di kamar kos Sisca. Nongkrongnya mereka, ya, rebahan.
Pintu kamar terbuka, meningkatkan volume deru hujan dari luar. Hujannya deras. Nah, Desy yang masuk dan kembali menutup pintu, menggenapkan maksud dari dua teman seperjuangan Shani tadi. Perempuan jangkung dengan wajah banyak beban itu tadi pulang dulu ke kosannya yang hanya sebatas satu dinding jauhnya dengan milik Sisca. Dan sekarang ia menyusul.
Dan langsung duduk di lantai, menyandar kasur, memainkan ponsel.
"Di sini kali... ke kasur kali..."
Menurut, perempuan jangkung itu berdiri, mengangkat kaki kirinya untuk menaiki kasur. "Jangan kaki duluan." Tapi kembali beranjak setelah kakinya yang naik duluan ke kasur itu ditendang kaki Sisca.
"Iyaudah, ni, gue kepala duluan, ni." Bahkan kalimatnya itu belum selesai, tapi Desy sudah melakukan gerakan roll depan yang hampir sempurna. Belum sepenuhnya sempurna karena gerakan akhirnya belum dilakukan, malah wajah Shani yang kena tindih kaki Desy.
Sisca tertawa kencang. Shani niatnya juga mau tertawa, tapi mulutnya terlebih dulu mengaduh. Sakit betul.
Memutar tubuhnya, Shani pergi dari tindihan kaki Desy, membuat kepala Sisca terbentur langsung ke kasur--tapi masih saja tertawa si Sisca.
"Ribet banget, sih, Ya Allah..." Eluh si korban ketindihan.
"Temen lu ribet." Sang pelaku malah mulai rebahan sejajar dengan Shani, berganti kakinya menindih perut Sisca.
"Hahahaha." Sekali lagi tawa Sisca bergema. Ia bergerak sedikit, memposisikan kepalanya lagi bantalan di punggung Shani. Drama Thailand yang tadi sekali lagi terlewat mata selama beberapa detik, diputar ulang.
![](https://img.wattpad.com/cover/241408947-288-k405255.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DingDong
ФанфикSatu unit apartemen; empat perempuan, satu laki-laki; empat saudari, satu ayah; satu keluarga. Udah cukup, enggak mau nambah lagi. 19 September 2020