Malam itu, masih beberapa menit setelah keributan. Menit yang cukup banyak. Sejam? Atau hampir dua, mungkin?
Shani masih membuka matanya. Tak kunjung mampu beranjak melanjutkan tidur malamnya yang tadi sudah sempat nyenyak—sebelum keributan. Matanya terbuka masih lebar, menampilkan seutuhnya mata bergenang cairan bening di sana. Langit-langit kamar akan yang menjadi paling tahu bahwa Shani sekuat tenaga menahan tangisnya. Shani jauh lebih hebat tentang itu dibanding Chika yang sesenggukannya masih bisa terdengar meski samar-samar.
Ah, soal tidur, mungkin tak akan bisa juga Shani kembali tidur. Perasaan Shani susah. Terlampau susah. Soal Papa, pernikahan Papa, adik-adiknya.
Soal Mama.
Juga soal dirinya sendiri.
Di kasur itu, Shani berbaring terlentang. Selimut hanya menyelimuti sebatas pinggulnya saja. Dan Chika, adiknya Shani itu ada di samping Shani. Berbaring miring membelakangi Shani. Luka di betis Chika sudah dibalut perban kecil. Shani yang tangani.
“Chik...”
“Kalau Ci Shani mau nyuruh aku minta maaf ke Papa, mending Cici keluar.”
Shani menengok ke kiri, di mana pundak adiknya yang masih bergerak-gerak kecil oleh isaknya itu Shani temui. “Kakinya masih sakit?”
Dan oleh pertanyaan itu, si pundak malah makin menjadi geraknya. Chika melepas isakan, membiarkannya terdengar leluasa oleh Shani. Lenguhan-lenguhan tangis itu Shani dengar dari mulut Chika.
Sampai tubuh itu, milik Chika, dipeluk dari belakang oleh Shani pun, tangis itu masih ada.
“Sakit, ya?”
Tak dijawab.
“Besok periksa ke klinik, ya, sama Cici.”
Dan masih tak ada jawaban.
Sampai lama.
Sampai isak tangis itu kemudian redam sendiri, hanya menyisakan sesenggukan napas.
Sampai pintu kamar itu diketuk dari luar.
Ya, seseorang mengetuk. Siapa? Maka Shani begitu besar berharap itu bukanlah Papa.
Maka sehabis menimang-nimang, Shani akhirnya melangkah pada pintu, memutar kunci yang menggantung di lubangnya, dan membuka pintu itu untuk sedikit saja celah. Ya, Shani masih ragu. Ia, sangat tidak ingin berhadapan dengan Papa dahulu untuk sekarang ini.
“Ci…”
Ah, tapi suara itu sudah menjawab semuanya.
Shani buka pintu itu lebih lebar, mendapati Fiony dan Gracia masuk bergantian. Fiony langsung memeluknya, sedangkan Gracia melangkah lebih jauh ke dalam kamar—entah mau apa.
Shani tersenyum simpul. Mengelus seutuhnya rambut Fiony dari ujung atas sampai pundak. “Udah nggak papa?”
Fiony mengangguk saja.
Si bungsu itu lebih tertarik untuk menggigit bibir bawahnya sendiri, melirik ragu-ragu Chika di ranjang sana, dan kembali menatap Shani. “Ci…” Fiony ingin minta solusi.
“Nggak papa.” Shani tersenyum lembut. “Sana…” Lantas memberi kode agar Fiony segera menghampiri Chika.
Bibir bawahnya itu Fiony gigit kembali, tetapi langkahnya terayun. Fiony menyusul Chika.
“Chika…”
Di samping ranjang, tepat di sisi Chika menghadap, Fiony berlutut di sana.
“Ci…”
![](https://img.wattpad.com/cover/241408947-288-k405255.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DingDong
FanfictionSatu unit apartemen; empat perempuan, satu laki-laki; empat saudari, satu ayah; satu keluarga. Udah cukup, enggak mau nambah lagi. 19 September 2020