Ayam panggang jumbo telah hancur.
Tante Mama harus ganti rugi.
Ya, betul sekali bahwa Tante Mama adalah penyabar, lemah lembut, tidak suka marah-marah. Tapi, kali ini tolong dimaklumi. SUDAHLAH GAUN DIRUSAK! SEGALA MAKANAN CATERING DIHANCURIN! BERAPA DUIT ITU!?
Baiklah, itu terlalu emosi.
Jika aku di pelukmu…
Itu adalah lagu yang sengaja diputar Bobby di dalam mobilnya.
Betul sekali lagi, empat gadis itu sekarang berada di mobil Bobby, setelah tadi Tante Mama hanya menarik napas dalam-dalam dan tersenyum palsu, lantas menelepon Bobby untuk menjemput dan membawa empat gadis itu pulang duluan saja. Nggak apa-apa biar Tante yang urus masalahnya, kata Tante Mama tadi, bentuk kemunafikan dari caci maki di hatinya sendiri. Memang kurang ajar, sih. Banget. Sumpah.
Tipis-tipis bau rendang bercampur balado, bercampur siomay, bercampur entah apa lagi itu tercium dari dua orang gadis di dalam mobil itu. Tentulah dari dua gadis yang tadi jatuh merobohkan meja makanan gara-gara dua kucing yang mereka bikin ribut sendiri.
Padahal, tadi sudah sekuat tenaga Gracia dan Chika saling bahu membahu membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel pada tubuh dan baju mereka. Bahkan baju mereka masih setengah basah karena dilap berkali-kali dengan air.
Soal orang-orang di mobil, singkatnya begini: Gracia dan Shani tidak mau duduk di dekat Bobby, jadilah mereka duduk di belakang. Fiony tidak mau di depan juga, jadilah si bungsu duduk di tengah-tengah Gracia dan Shani. Chika yang selalu mengalah, jadilah duduk di depan, di samping kursi kemudi, ditambah memangku Arnold karena Fiony menentang keras Ciminya yang kini ada di dalam tas astronot di pangkuannya didekati Arnold lagi. Bobby, tentu saja menyetir.
Gracia tengah bersandar pada jendela, mengamati jalanan yang dilewati. Ia jadi badmood. Udahlah badan bau, segala harus dekat-dekat buaya gondrong lagi. Mana Fiony dan Shani duduknya seakan menjauhi Gracia—memang bau, sih.
“Loh, ini mau ke mana?” Gracia beranjak dari sandaran, menatap tidak suka ke arah Bobby setelah ia sadar jalanan yang mereka lewati bukan lagi menuju apartemennya.
“Ke rumahku dulu, ya?”
Gracia berdecak, kembali bersandar ke kaca jendela. Kedua tangannya dilipat di depan dada. “Ngapain, sih.”
“Aku mau nunjukin sesuatu ke kalian.”
“Pap aja nggak bisa dipap?”
Bobby tertawa nyaring, “Emang tetek dipap? Eh—”
“Astaghfirullah.”
Tegang.
“Kamu denger?” Shani menatap Fiony, menutup kedua telinga adiknya dengan telapak tangan.
Fiony mengangguk.
Shani bergegas. Tiup kuping kanan, tiup kuping kiri. Jangan sampai kalimat limbah itu membuat telinga adiknya tercemar!
Chika paling tegang. Ada di sebelah Bobby langsung, ia menelan ludah.
“Chik, sejauh mungkin.”
Segera Chika menaati nasihat Gracia di belakangnya. Chika peluk Arnold lebih erat, beringsut lebih menempel pintu.
Bobby berdehem, tidak enak. “Sorry, ya…”
Diriku seutuhnya, milikilah…
Jika aku di pelukmu…“Bisa ganti nggak lagunya!?”
Apa itu peluk-peluk, miliki-miliki! Tidak sopan di situasi seperti ini!

KAMU SEDANG MEMBACA
DingDong
Fiksi PenggemarSatu unit apartemen; empat perempuan, satu laki-laki; empat saudari, satu ayah; satu keluarga. Udah cukup, enggak mau nambah lagi. 19 September 2020