Kematian.
Ada sebuah kisah yang nantinya akan manusia alami. Tertidur amat pulas, entah itu dihantarkan oleh perih di tubuh atau oleh ketenangan, terbangun, membuka mata untuk menemui kepergian. Kepergian dirinya sendiri. Pergi dari dunia kemarin, pergi dari orang-orang yang sempat menemani di dunia kemarin, dan bertemu yang lain kemudian.
Kematian.
Chika yakin dia adalah manusia seutuhnya yang pasti juga akan mati nantinya. Chika yakin dia bukanlah yang kekal. Chika yakin dia bukan golongan penyihir jahat yang ingin hidup selamanya untuk menguasai dunia. Chika yakin. Nanti. Nanti pasti dia akan menemui yang namanya mati.
Tapi, yakin saja tak memberi kekuatan, kan?
Darah Chika berdesir saat itu. Kedua matanya yang baru saja terbuka setelah menghabiskan tidur malam, kosong. Ia membeku.
Bayangkan saja! Kamarnya masih remang hanya dengan lampu tidur, dan Chika terbangun terlentang dengan tiga pasang mata memandanginya intens. Apa Chika jadi tidak takut kalau-kalau ia malah ditanyai, "Man Rabbuka?"
"Apa?"
Pada akhirnya, setelah desir darah yang membekukan tubuhnya menghilang, Chika yang terlebih dulu membuka obrolan. Dengan mereka, pemilik tiga pasang mata yang melototinya bahkan sebelum ia terbangun. Mereka, dua Cici dan satu adiknya.
"Kamu daftar kuliah di Jogja?" Gracia melipat tangan di dada, berdiri di sisi kiri, samping kepala Chika.
Dahi Chika mengkerut sampai kedua matanya sipit. "Tau dari mana?"
"Kamu yang dapet ide dari mana. Masang seprei aja masih copot-copotan udah sok mau ngerantau?"
Chika mendesis, menarik selimut hendak menutupi seluruh tubuh termasuk kepala, mengacuhkan Shani yang berdiri tak berbeda mukanya di samping kiri Gracia.
Gracia menarik selimut Chika, melarang wajah adiknya itu bersembunyi. "Kamu mau ninggalin Papa? Nggak kasihan apa, hah?"
"Papa kan mau nikah!"
Selimut itu terjatuh, tersentak oleh gerakan Chika yang tetiba anarkis. Kamar pun sunyi, teredam oleh penguburan amarah.
"Bukan cuma kamu yang enggak mau Papa nikah." Gadis tertua menarik dan membuang napas kasar, duduk di ujung ranjang, menatap dinding di depannya. "Jangan suka lari dari masalah."
Chika membuang muka, menatap ujung kakinya di depan sana, yang kini dekat sekali dengan punggung Shani. Perasaannya menjadi susah.
"Iya. Kalau lari, nanti aku tidur sama siapa? Masa sendirian?" Si bungsu cemberut, ia duduk di atas kasur di sisi kanan Chika bekas ditidurinya sendiri.
"Yang takut hantu kan Ci Shani bukan kamu. Kamu malah yang suka dandan jadi hantu."
Dan dilontarkan kalimat itu oleh Chika, Fiony makin cemberut. "Roda, kan, berputar."
"Nggak! Nggak ada! Nggak ada yang nikah, nggak ada yang ngerantau! Atau sekalian aja aku yang nikah terus ngerantau sama suami biar kalian puas?!"
"Emang ada calonnya?"
Tertohok, Gracia mendelik pada adik bungsunya. Fiony pun hanya bisa kembali cemberut.
"Denger."
Shani. Gadis itu menutup kedua matanya setelah mengucapkan satu kata. Beberapa saat enggan menatap pada ruangan remang di subuh hari yang bahkan gorden jendelanya belum dibuka, ia kemudian membuka mata lagi untuk memutar tubuh ke kiri, menyentuh kaki Chika dengan telapak tangan. "Kita sama-sama nggak mau Papa nikah."
KAMU SEDANG MEMBACA
DingDong
FanfictionSatu unit apartemen; empat perempuan, satu laki-laki; empat saudari, satu ayah; satu keluarga. Udah cukup, enggak mau nambah lagi. 19 September 2020