Kata Shani dan Fio Yang Berdosa Banget

2.1K 229 65
                                    

Matahari belum muncul cahayanya. Sepagi itu Shani sudah membuka pintu apartemen, hendak keluar. Kaos tidurnya bahkan masih terlihat lipatan-lipatan kecil, rambutnya dicepol asal saja tadi, toh ia mau ke tempat yang punya kemungkinan kecil didatangi banyak orang pagi-pagi begini.

Rooftop.

Chika sering olahraga naik tangga sampai ke rooftop. Pagi ini juga. Shani mau nyusul, tetapi naik lift. Siapa juga yang mau capek-capek keringetan naik tangga pakai sendal bulu? Bisa rontok bulu-bulu sendalnya yang lembut itu.

Entah itu menguap keberapa kalinya Shani yang akhirnya mengantarkannya sampai di lantai paling atas gedung. Bulu-bulu halus di lengannya meremang saat membuka pintu rooftop dan melewatinya. Surainya yang beberapa tak ikut terikat dalam cepol bergerak-gerak mengikuti angin. Matanya menyipit. Aduh, Shani lupa pakai jaket. Mau di Jakarta juga subuh-subuh tetap saja dingin kalau di atas gedung berpuluh lantai gini. Kaosnya cuma lengan pendek, celananya celana batik lagi. Ya, walaupun panjang, mana ada celana batik berbahan wol.

Tapi Shani enggak peduli amat, sih. Imun Shani kuat, kok. Dingin segini enggak akan bikin Shani pilek.

Shani melangkah. Semburat jingga terbitnya mentari memang belum terlihat, tetapi jangkauan cahayanya sudah mulai membuat langit memutih. Sebentar lagi pasti cahaya jingga itu muncul dari Timur, arah yang sama ke mana tubuh adiknya sedang menghadap--membelakanginya.

Chika di sana, berdiri condong ke depan menumpu kedua lengannya di atas tembok pembatas.

Tidak ada satu kata pun, atau bentuk aba-aba apa pun yang Shani berikan saat dia akhirnya sampai di samping Chika, menyentuhkan jemari ke tembok pembatas yang tingginya sepinggul.
Tidak ada aba-aba, tapi mulut Shani langsung terbuka lebar saat baru sampai. Menguap sekali lagi. Panjang. Matanya sampai sedikit berair.

Astaghfirullah, Shani. Cantik-cantik mangapnya lebar.

Hening.

Shani memutar tubuh, menempelkan pantat ke tembok pembatas, melipat tangan di dada. Tak lain hanya untuk mengurangi rasa merinding karena terpaan angin subuh hari yang langsung membelai kulit lengannya. "Mau cerita?"

Menggigit bibir bagian dalamnya, sejenak Chika hanya memainkan ujung lengan jaket.

"Kesel sama Papa."

Untuk tiga kata itu waktu seolah bergerak lebih lamban. Dikumpulkan oleh Chika untuk memutuskan memberi pengertian pada Cicinya.

"Ada apa kemarin?"

Shani memainkan jemari kaki, menyembul-nyembulkan bulu-bulu sendal. Mungkin Chika akan melambankan waktu lagi, membuatnya menunggu. Namun, tak apa. Shani kakak yang baik, kok.

Memindahkan atensinya ke bawah, Chika lihat kendaraan mulai hilir mudik. "Papa berlebihan." Jelas terdengar kekesalan di nadanya berucap.
"Tanpa dilarang pun, aku nggak akan pacaran. Aku belum tertarik sama sekali sama hubungan kayak gitu."

Shani menengok, menatap wajah samping adiknya. "Cowok?"

Mengangguk, "Ya. Temen."

"Temen doang?"

"Iya."

"Bukan gebetan? Pacar?"

Kata "pacar" adalah koentji. Titik permasalahan jelas ada di situ, Shani paham.

"Nggak. Belum."

"Belum? Kamu suka?" Shani bingung.
Tubuhnya memutar ke samping, memindahkan tugas bertumpu ke pinggul kirinya, tanda sungguhan ingin dapat jawaban.

"Dia."

Satu kata setelah itu, Chika berbalik badan, loncat ke arah belakang untuk duduk di atas tembok pembatas. Yang ini dapat ringisan keras dari Shani. Ngeri, lah! Kalau kejungkel kan bukan cuma malu! Mati juga! Tangan gadis yang lebih tua itu bahkan bergerak spontan hendak menarik kalau saja tubuh Chika malah benar-benar terjungkal ke belakang. Tapi, berhubung tidak, jadinya dipakai buat nabok paha kanan Chika saja.

DingDongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang