Tangan kecil itu bergerak naik. Menutupi sinar matahari yang menyilaukan mata. Ia mendongak, menatap gedung tinggi yang berada tepat di depannya.
Napas menarik panjang seiring tatap yang perlahan menunduk dan melihat kotak makan siang yang berada dalam genggamannya. Ada ragu terselip, tapi tak sebesar niat hati yang ingin bertemu dengan pria itu.
Kaki melangkah kecil, perlahan memantapkan diri dan menyiapkan susunan kata yang akan ia sampaikan pada Yoongi.
Jimin berjalan mendekat pada meja resepsionis. Wanita berpenampilan rapi serta rambut yang tergerai lurus melewati bahu langsung menyapanya dengan senyum manis.
"Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?"
Jimin sedikit gelagapan. "Oh... aku ingin bertemu dengan Tuan Min Yoongi."
"Direktur Min?" tanya wanita itu memastikan. Jimin mengangguk memberi jawab.
"Apakah anda sudah membuat janji sebelumnya?"
Jimin menggeleng. "Belum."
"Mohon maaf. Untuk menemui jajaran direksi kami, harus membuat janji sebelumnya. Kami tidak bisa mengizinkan secara bebas."
"Tapi..."
Jimin mengurungkan nia untuk bicara dan langsung mengeluarkan ponselnya. Mencoba menelepon Yoongi sekali lagi, meski ia tahu pria itu tidak akan menjawab.
"Bisakah aku minta tolong?" tanya Jimin setelah tak mendapatkan jawaban dari Yoongi.
"Apa itu?"
"Bisakah kau memberitahu pada Direktur Min kalau Park Jimin ingin bertemu? Tolong aku."
Wanita itu mengerjap bingung sesaat sebelum ia bicara kembali. "Baiklah. Kami akan coba memberitahu ke Sekretaris beliau. Mohon tunggu sebentar."
Angguk kecil menjadi jawaban dari Jimin. Tubuhnya bergerak gelisah sementara sang resepsionis mulai berbicara dengan seseorang di seberang telepon.
"Baiklah. Akan aku sampaikan."
Wanita itu menutup teleponnya dan langsung mendongak. "Maaf, Direktur Min sedang sibuk dan tidak bisa menerima tamu saat ini."
Raut kecewa terhampar jelas di wajah Jimin. Ia hanya bisa mengucap terima kasih dan berjalan pergi dengan lunglai. Tangan bergerak merogoh saku, mengeluarkan kembali ponselnya.
Ia termenung sejenak, membaca kembali kumpulan pesannya yang tak pernah lagi mendapat balasan. Sejak kemarin, ia mencoba untuk menghubungi Yoongi. Namun, pria itu tak kunjung menjawab.
Jika saja ia tahu dimana kediaman Yoongi, ia pasti sudah mendatangi pria itu ke sana. Sayang, satu-satunya hal yang ia ketahui hanyalah kantor Yoongi.
Dan itu membuat Jimin merasakan sesal dalam batinnya. Menyesal mengapa ia tidak menanyakan banyak hal tentang pria itu.
Ia berakhir buntu dan memberanikan diri untuk mendatangi pria itu ke kantornya, tapi tak semudah itu.Jimin benar-benar kehilangan akal dan hanya mampu berdiri gelisah. Sekali lagi, ia mencoba menelepon Yoongi. Menanti dering berubah menjadi sapa hangat seperti yang biasa ia dengar dari pria itu.
Namun hingga dering terakhir, tetap tak ada jawaban. Jimin pun pasrah dan mengetik sebuah pesan lagi, meski sepertinya pesan itu akan berakhir seperti pesan-pesan lainnya.
Jika waktu sibukmu sudah selesai, bolehkah aku menemui? Aku menunggumu. Kabari aku, ya.
❄❄❄
Yoongi memainkan jemarinya di atas layar ponsel. Tak mempedulikan langit sore yang memerah di belakangnya. Jari telunjuknya masih bergerak naik dan turun. Membaca kembali beberapa pesan yang memenuhi ponselnya sejak kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
warm winter ▪️
Fanfiction[Completed] Setelah perpisahan yang pahit, Park Jimin mulai terbiasa menghabiskan malam Natal yang dingin seorang diri. Hingga seseorang mendekat dan mulai menghangatkan Natalnya tahun ini.