Jimin mengernyit samar ketika tangannya tak sengaja menepuk sisi kiri tempat tidur. Mengintip dari balik kelopak mata yang sedikit bengkak.
Berdeham pelan, Jimin akhirnya membuka matanya secara penuh dan menatap tempat kosong di sebelahnya. Ia pun membangunkan tubuh dan terduduk sambil terus memandang ke kiri.
"Kau sudah bangun?"
Jimin mengikuti arah suara yang bicara padanya dan mendapati Yoongi berdiri di depan pintu. Pria itu menggerakkan bibir, mengucapkan 'selamat pagi' dengan pelan sebelum melangkah mendekat.
"Selamat pagi, Yoongi hyung," balas Jimin. Ia mengusap-usap wajahnya kasar.
Tubuh mendadak kaku saat sebuah tangan menepuk lembut puncak kepalanya. Jimin mendongak perlahan dan memandangi Yoongi yang tersenyum ke arahnya.
"Matamu bengkak," kata Yoongi pelan.
Jimin mendengus pelan. "Ah, jangan katakan itu."
Kekehan kecil Yoongi terdengar mengalun lembut di telinganya. Memberikan Jimin desiran menyenangkan dalam hati pagi ini.
"Cucilah mukamu. Aku akan siapkan sarapan untukmu."
"Tidak perlu repot-repot," ucap Jimin mencegah.
Yoongi mengusap puncak kepala Jimin lagi. "Kau pasti lapar setengah mati setelah semalaman menangis."
"Hyung!" seru Jimin malu. "Hentikan itu."
Yoongi malah tertawa lepas. "Aku menunggu di luar. Kau bisa gunakan kamar mandi itu," katanya sambil menunjuk sebuah pintu di dalam kamar itu. "Handuk dan perlengkapan lainnya ada di lemari dalam kamar mandi. Ambil saja."
Jimin masih diam dalam duduknya, meski wajahnya perlahan memerah. Perkataan Yoongi barusan memaksanya untuk mengingat kejadian memalukan semalam.
Tubuh merunduk, lalu mengerang pelan di balik bantal. Mencoba meredam agar suaranya tidak terdengar walaupun sepertinya tidak mungkin karena jarak dirinya dari pintu sangatlah jauh. Terima kasih kepada kamar Yoongi yang maha luas ini.
Mencoba berpikir, nyatanya Jimin tak menemukan alasan yang paling tepat untuk menggambarkan tingkah gilanya yang berani mengaku pada Yoongi. Bisa-bisanya ia berlari menemui pria itu dan mengatakan semua hal yang mengganggu benaknya selama ini. Jimin tidak tahu apa yang mendorongnya untuk memiliki keberanian seperti itu. Mungkin memang tak semua hal mempunyai alasan.
Semakin merenung, Jimin malah semakin terbawa pada ingatan semalam. Pipi bersemu merah dan bibir mengulum dalam. Jemari terangkat, mengelus bibirnya dan tak lama mata menutup rapat kembali.
Ciuman itu tidak pernah ada dalam prediksi Jimin. Tidak pernah sekali pun ia membayangkan hal itu. Ia mungkin membayangkan Yoongi akan memeluknya, tapi ciuman? Tidak sama sekali.
Namun, ada rasa senang yang membuncah kala Yoongi melekatkan bibir tipis itu di atas miliknya. Bukan karena Jimin sudah lama tidak mencium seseorang. Jimin tidak semesum itu. Tolong, camkan baik-baik.
Hanya saja, ciuman itu lebih dari sekadar gerakan. Entah bagaimana caranya, Jimin seakan bisa membaca seluruh perasaan Yoongi saat itu. Betapa pria itu mencintainya dan berapa besar yang luka yang ia miliki saat melihat Jimin menangis, ia seolah merasakan semua itu dalam beberapa detik bibir mereka bersentuhan.
Ciuman mereka terasa asin, tapi bukan hanya karena ulah air mata Jimin yang terus mengalir. Ia tahu, Yoongi juga menangis saat itu. Jimin masih bisa mengingat jelas suara Yoongi yang bergetar saat menggumamkan maaf, meskipun pria itu menyembunyikan wajahnya dengan alibi memeluk.
Entah berapa menit mereka habiskan untuk berdiri di depan pintu. Saling merengkuh kehangatan satu sama lain saat salah satu dari mereka menangis tersedu sementara yang lain sibuk mengucap maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
warm winter ▪️
Fanfiction[Completed] Setelah perpisahan yang pahit, Park Jimin mulai terbiasa menghabiskan malam Natal yang dingin seorang diri. Hingga seseorang mendekat dan mulai menghangatkan Natalnya tahun ini.