Hela napas itu memberi kesan lelah yang luar biasa. Menoleh, Jimin menatap pada lobi gedung yang terlihat lengang. Hanya ada segelintir orang yang berlalu-lalang, bahkan meja resepsionis yang sebelumnya dijaga oleh dua orang, kini diisi oleh satu orang.
Jimin memeluk erat kotak makan yang lagi-lagi tak berhasil ia berikan secara langsung kepada Yoongi. Pria itu tidak datang ke kantor hari ini, sama seperti dua hari sebelumnya. Ia tidak tahu apakah pria itu sengaja tidak ke kantor karena ia tahu Jimin menunggunya, ataukah pria itu mengambil cuti.
Tangan mengangkat naik, mengarahkan layar ponsel yang hening sedari pagi. Tombol ditekan, dan cahaya terang langsung menerpa netra Jimin yang berfokus pada tulisan tanggal di sana.
22 Desember.
Mendongak, manik itu menangkap potret butiran salju yang turun sejak semalam, sementara matahari bersembunyi di balik musim dingin yang terasa semakin menusuk. Jimin menarik syal yang melingkar di lehernya hingga menutupi dagu.
Bibir yang sedikit gemetar itu mengeluarkan uap putih seiring napas yang terhembus. Lagu-lagu natal semakin kencang terdengar, seolah menandakan bahwa natal akan datang sebentar lagi.
Maukah kau menghabiskan malam natal bersamaku?
Hati mengerut perih kala memori memutar kembali ucapan Yoongi hari itu. Perkataan yang sepertinya tidak akan terjadi, mengingat malam natal akan tiba sebentar lagi.
Jimin menunduk dalam, menatap kotak makan siang yang berada dalam pelukannya. Jika saja hatinya bisa berbicara, maka ia akan mengatakan satu hal.
Untuk pertama kalinya, aku tidak ingin menghabiskan malam natal sendirian.
Tarikan napas panjang dilakukan oleh Jimin sebelum ia melangkah menuruni tangga. Namun, saat kaki menginjak anak tangga terakhir, dunia mendadak berputar cepat. Jimin sigap berpegang pada besi di sisi kanan.
Ia mengerjap beberapa kali, menunggu hingga pandangannya kembali normal. Perlahan, ia bisa merasakan denyut pelan di kedua pelipisnya. Jimin mengerang pelan untuk sesaat, lalu berjalan kembali, meninggalkan gedung tinggi itu di belakangnya.
❄❄❄
Hoseok bergegas berlari dan terhenti dengan napas yang terengah di depan pintu. Begitu cepat ia memasukkan kode pengaman dan pintu itu akhirnya terbuka lebar. Menenteng bubur, Hoseok melangkah cepat memasuki apartemen yang terlihat sepi itu.
"Jimin!"
Teriakan itu berhasil membangunkan sosok yang tengah membungkus dirinya di balik selimut. Kepala melongo sekilas. "Hyung."
"Astaga, Tuhan!" pekik Hoseok. "Suaramu mengerikan!"
Hoseok bergerak menyentuh dahi Jimin yang sedikit berkeringat. "Tubuhmu panas sekali. Kau tidak mau ke rumah sakit?"
Jimin menggeleng lemah. "Tidak perlu. Ini hanya demam biasa. Sebentar lagi juga turun."
Punggung Hoseok yang tadi kaku, kini mulai melemas. "Kau mengambil cuti untuk liburan, tapi malah sakit seperti ini. Kau sudah makan?"
Kepala Jimin menggeleng lagi. "Liurku pahit."
"Tentu saja, bodoh!" kesal Hoseok. "Kalau rasanya manis, itu aneh. Aku bawakan bubur untukmu. Eits! Tidak ada penolakan. Kau harus makan," perintah Hoseok.
Tangan sang tamu terulur, membantu Jimin untuk duduk di atas kasurnya. Pemilik apartemen kecil itu menatap jam dinding. Sudah pukul sebelas siang.
Pria itu tidak ingat apa yang terjadi setelah ia pulang dari kantor Yoongi kemarin. Yang ia ingat hanyalah tubuh yang terus menggigil sepanjang perjalanan kembali ke apartemen kecil miliknya. Sepertinya ia langsung jatuh tertidur saat tiba di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
warm winter ▪️
Fanfiction[Completed] Setelah perpisahan yang pahit, Park Jimin mulai terbiasa menghabiskan malam Natal yang dingin seorang diri. Hingga seseorang mendekat dan mulai menghangatkan Natalnya tahun ini.