Langkah terburu begitu diperlihatkan oleh Park Jimin yang berjalan di antara banyak orang. Sedikit melawan arus hingga memaksanya harus berulang kali mengucap permisi.
Langit siang ini terbilang cukup cerah, meski matahari tetap bersembunyi di balik awan yang menggumpal di langit. Butir salju turun perlahan, tak sederas beberapa minggu yang lalu.
Uap mengepul dari sela bibir setiap kali Jimin menghembuskan napas. Tangan yang terbalut sarung tangan putih bergerak naik dan merapatkan gulungan syal di leher.
Kaki semakin cepat melaju saat ia melihat penanda dari kafe tujuannya. Tubuh mendorong pintu terbuka, membiarkan lonceng yang tergantung di atas bergoyang pelan dan menghasilkan bunyi sedikit nyaring.
Tak berniat untuk memesan, Jimin langsung menghampiri sebuah meja yang telah diduduki seorang pria di sana. Seraya melepaskan sarung tangan, ia pun berjalan mendekat, lalu menepuk pundak lelaki itu.
"Hyung!" panggilnya ceria, melempar senyum kepada pria yang kini membalas tatapnya. Jimin pun langsung mengambil tempat untuk duduk berhadapan dengannya.
"Ceria sekali," kata pria di depannya. "Aku sudah pesankan latte untukmu," ucapnya lagi seraya menunjuk segelas latte hangat yang tersaji di depan Jimin.
Jimin mengedipkan sebelah mata. "Kau memang yang terbaik." Ia langsung menyesap kopinya pelan. Menikmati cairan kecoklatan yang hangat itu menuruni kerongkongannya.
"Kau dari mana saja, Hoseok hyung?" tanya Jimin seusai mencicipi kopi miliknya. "Aku meneleponmu, tapi kau sama sekali tidak menjawab."
Hoseok membuat suara seperti kekehan kasar. "Aku pulang ke Gwangju. Ibuku sudah mengoceh ribuan kali, memintaku untuk menghabiskan natal bersama mereka."
"Lalu, kau?" Giliran Hoseok yang bertanya. "Bagaimana harimu sekarang?"
Pertanyaan Hoseok terlalu jelas mengarah kemana. Pria itu bahkan tidak menanyakan bagaimana Jimin melalui malam natalnya. Memang sepertinya, tidak ada yang bisa ia tutupi dari sahabatnya itu.
"Menyenangkan, berkat kau, hyung," aku Jimin. "Terima kasih."
Hoseok mengangkat alis dan tersenyum hangat. "Well, apa yang aku lakukan adalah sesuatu yang memang harus dilakukan seorang sahabat. Aku hanya melakukan tugasku sebagai seseorang yang ingin melihatmu bahagia."
Jimin tersentuh mendengar ucapan singkat itu hingga rasanya ia bisa meneteskan air mata haru di detik ini juga. Jika ia harus memilih satu hal yang paling ia syukuri dalam hidup, itu adalah keberadaan Hoseok di sisinya.
Kebaikan semacam apa yang pernah Jimin lakukan di kehidupan sebelumnya sehingga ia bisa mendapatkan sahabat seperti Hoseok?
Jimin menunduk. "Aku tidak tahu bagaimana cara membalasmu, hyung."
"Inilah alasan mengapa aku tidak mengangkat teleponmu," balas Hoseok. "Sejujurnya, aku tidak ingin mendengarmu mengucap terima kasih, dan aku tidak ingin kau berpikir bahwa aku mengharapkan balasan."
"Aku melakukan ini karena aku ingin, dan juga karena aku merasa jengkel dengan permainan petak umpet kekanakan yang kalian lakukan," tambah Hoseok dengan nada kesal yang langsung disambut dengan tawa kecil dari Jimin.
"Jadi, apa pria itu melakukannya lagi?" tanya Hoseok. "Apa dia menghindarimu lagi?"
Jimin menggeleng cepat. "Tidak. Kami... sudah lebih baik."
"Ah, ya. Kau tadi bilang bahwa harimu menyenangkan sekarang. Tolong jelaskan padaku, Tuan Park Jimin, menyenangkan seperti apa yang kau maksud karena aku tidak mengerti."
KAMU SEDANG MEMBACA
warm winter ▪️
Fanfiction[Completed] Setelah perpisahan yang pahit, Park Jimin mulai terbiasa menghabiskan malam Natal yang dingin seorang diri. Hingga seseorang mendekat dan mulai menghangatkan Natalnya tahun ini.