Yoongi melempar map berisi berkas penting itu ke sembarang arah. Menarik dasi dan membuka kancing kerah seraya menyandarkan punggung ke belakang.
Pelipis berdenyut pelan, memberi rasa nyeri yang untungnya masih sanggup untuk ditahan. Namun, Yoongi tak mungkin membiarkan rasa sakit itu berdiam lebih lama dalam kepalanya sehingga ia pun menekan interkom di atas mejanya.
"Tolong bawakan aku aspirin."
Ketika pintu membuka, Yoongi mengira sekretarisnya akan masuk dan membawa aspirin yang ia minta, tapi ternyata malah pria bertubuh jangkung yang datang mendekatinya dengan kekehan setengah mengejek.
"Ada apa denganmu? Kenapa mejamu berantakan seperti ini?"
Yoongi mendengus. "Diamlah."
Namjoon membulatkan bibirnya. "Baiklah. Aku akan diam."
Ketukan pelan memaksa Yoongi untuk mengeluarkan gumaman pelan, mempersilahkan sekretarisnya untuk masuk dan meletakkan aspirin dan segelas air untuknya.
"Kau baik-baik saja?"
Namjoon memandangi Yoongi yang langsung meminum aspirinnya dan meneguk habis isi gelas itu. Ia lalu meletakkan benda bening itu dan berkata, "Hanya sedikit pusing. Ada apa?"
"Tadinya aku mau membahas satu proyek, tapi sepertinya kau sedang tidak fokus."Tangan Namjoon bergerak menarik kursi di depan meja Yoongi. "Mau cerita?"
Yoongi termenung sebentar. Apakah ia harus menceritakan penyebab kekacauan dirinya hari ini pada Namjoon?
Pria itu sadar dan paham apa yang menyebabkan dirinya kehilangan fokus seperti ini. Sejak kemarin, ia terus memikirkan kejadian kemarin di kedai kopi. Dirinya mendadak geram setiap kali teringat akan fakta bahwa di luar sana, ada seorang lain yang mengenal Jimin dan bahkan mengetahui hal-hal kecil tentang pria itu.
Yoongi bahkan sedikit mengabaikan pesan Jimin karena berkomunikasi dengan pria itu membuatnya teringat kembali akan hari kemarin dan membuat perasaannya memburuk seketika. Meskipun begitu, ia pun merasa tidak enak hati karena sudah mengabaikan Jimin padahal pria itu juga tidak tahu-menahu tentang kiriman kopi yang diterimanya.
Pria pucat itu sendiri tak mengerti mengapa ia merasa tak suka. Logika terus mempertanyakan ulah hati yang membuatnya uring-uringan seharian ini hanya karena masalah kopi. Lagipula, bisa saja seseorang yang mengirimkan kopi untuk Jimin adalah salah satu teman Jimin. Kenapa Yoongi harus marah?
"Entahlah, Joon," kata Yoongi.
Alis Namjoon terangkat. "Katakan saja."
Yoongi menegakkan tubuhnya. "Jika ada seseorang lain yang mengetahui hal-hal spesifik tentang Seokjin, apa kau akan marah?"
"Marah?" gumam Namjoon mengulang."Kurasa tidak, tapi aku akan cemburu."
"Apa?"
"Hal-hal kecil tentang Seokjin adalah sesuatu yang penting untukku. Aku merasa menjadi seseorang yang paling bahagia di dunia saat aku bisa mengetahui hal terkecil dari dirinya. Bisa kau bayangkan jika ada orang lain yang mengetahui hal kecil tentangnya selain diriku? Aku akan seperti punya saingan."
Yoongi berpikir sejenak. "Lalu, apakah kau akan mengabaikan Seokjin karena dia memberitahu orang lain hal-hal tentang dirinya?"
Namjoon membelalak. "Apa? Tentu saja tidak!" serunya. "Aku mungkin cemburu, tapi mengabaikannya? Itu tidak mungkin kulakukan. Daripada mengabaikannya, aku akan mencoba untuk mencari tahu lebih banyak tentang Seokjin. Membuat diriku lebih unggul dari orang lain. Menjadikan diriku sebagai pria yang paling mengetahui dirinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
warm winter ▪️
Fanfiction[Completed] Setelah perpisahan yang pahit, Park Jimin mulai terbiasa menghabiskan malam Natal yang dingin seorang diri. Hingga seseorang mendekat dan mulai menghangatkan Natalnya tahun ini.