"Selamat natal, Jimin-ie."
Seulas senyum terpaksa hadir di wajah Jimin yang terlihat tak bersemangat. Mencoba untuk terdengar senang kala mengucap, "Selamat natal, Bu."
Jimin sepertinya tidak menyadari bahwa semua ibu memiliki perasaan yang kuat kepada anak-anak mereka, tak peduli seberapa kuat mereka mencoba untuk menyembunyikannya. "Kau baik-baik saja?"
"Ya," jawab Jimin singkat, berjalan menuju meja makan sambil membawa cangkir berisi teh hijaunya.
"Kau tidak terdengar seperti itu," balas sang Ibu. "Jangan mencoba untuk menipuku."
Jimin mencoba untuk tertawa, tapi entah mengapa suaranya terdengar menyedihkan. "Aku baik-baik saja, Bu. Apa Paman Jeon datang mengunjungi kalian?"
"Baiklah. Sepertinya dugaanku benar karena kau sekarang mencoba untuk mengalihkan perbincangan. Ya, dia datang bersama kedua sepupumu. Jungkook terus-terusan merajuk karena dilarang untuk kembali menemanimu di Seoul."
Tangan Jimin bergerak memutar sendok, mengaduk teh hijau panas yang mengepulkan asap di depannya. Denting halus terdengar setiap kali sendok itu menabrak sisi dalam cangkir. "Ya, aku bisa membayangkannya. Dia pun terus mengoceh kesal di sini ketika Paman Ok menyuruhnya pulang."
Senyum kecil mengembang, mengingat kembali Jungkook yang sempat tinggal bersamanya beberapa hari di Seoul. Meskipun mereka tidak banyak menghabiskan banyak waktu bersama karena kesibukan Jimin, tapi Jungkook terlihat betah berada di dekatnya. Jimin pun tidak merasa terganggu dengan ulah sepupunya yang sangat berisik itu.
Jimin mendengus pelan mengingat betapa rusuhnya Jungkook saat mendapat perintah untuk kembali ke Busan beberapa waktu yang lalu. Well, kerusuhan yang tidak jauh berbeda saat Jimin menjemputnya di bandara ketika ia baru saja datang tanpa memberi kabar.
Lain kali, jangan simpan dompetmu di saku, apalagi kalau kau pergi ke tempat ramai seperti ini.
Gerakan tangan yang masih mengaduk itu mendadak terhenti. Min Yoongi kembali menemukan cara untuk menyelinap masuk dalam benak Jimin. Tanpa gagal mengubah raut wajah Jimin menjadi muram. Mata menatap ke bawah, pada teh hijaunya yang sedikit bergejolak karena adukan sendok.
Jimin melepas sendok dari tangannya, lalu menyapu rambut ke belakang. Tangan lainnya bergerak menopang kepala dan membiarkan diri larut pada bayang-bayang laki-laki itu. Tersenyum miris dan berdeham pelan setiap kali dadanya berdenyut sakit.
"Jimin?"
Yang dipanggil tersentak pelan. Lupa bahwa dirinya masih terhubung melalui saluran telepon dengan sang Ibu di seberang sana. "Ya, Bu?"
"Kau mendengar perkataanku?"
Jimin mengerjap bingung. Memori hanya merekam sampai permbicaraan tentang Jungkook yang merajuk. Apakah setelah itu, Ibunya sempat mengatakan sesuatu yang lain?
"Apa yang kau katakan, Bu?"
Ibunya menghela napas panjang. "Sesuatu benar-benar terjadi padamu, ya? Kau mau cerita?"
Jimin mengulum bibir. Ibunya sama seperti Hoseok. Jimin tidak akan pernah bisa berbohong ataupun menolak. Namun entah kenapa, kali ini lidahnya seolah tak siap untuk mengucap kata.
"Ibu benar. Sesuatu terjadi, tapi aku tidak bisa menceritakannya sekarang," lirih Jimin. Sedikit merasa bersalah karena tidak bisa bersikap terbuka pada sang Ibu.
"Jimin," panggil wanita paruh baya itu.
"Ya?"
"Kau tahu Ibu selalu ada di sini, kan? Kau bisa menelepon Ibu kapanpun yang kau mau. Ibu akan mendengarkanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
warm winter ▪️
Fanfiction[Completed] Setelah perpisahan yang pahit, Park Jimin mulai terbiasa menghabiskan malam Natal yang dingin seorang diri. Hingga seseorang mendekat dan mulai menghangatkan Natalnya tahun ini.