Prolog

35 4 0
                                    

Malam gelap nan kelabu meninggalkan kesan yang sangat menakutkan. Kemunculan garis putih yang menyambar secara tiba-tiba di langit membuat suasana makin mencekam. Angin yang semula sepoy seketika menjadi kencang menimbulkan rasa dingin yang menusuk kulit hingga ke tulang.

Seseorang dengan pakaian serba hitam tampak tidak memperdulikan suasana itu. Dengan santainya ia berjalan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Tepakan sepatunya berpijak memecah keheningan malam, menggema diantara lorong-lorong sempit yang akan mengarahkannya pada sebuah rumah.

Matanya menatap tajam pada rumah yang sudah menjadi tempat semuanya berawal. Awal mula kejadian yang tidak masuk akal menimpanya.

"Shit!" Umpatan itu keluar dengan sendirinya jika otaknya kembali mengingat itu.

Dengan langkah pasti dia memasuki rumah itu. Matanya memandang jijik pada lumut yang setia menempel di dinding-dindingnya. Lampu yang remang-remang menjadi salah satu penerang ruangan yang ada di dalam rumah bertingkat dua itu.

Tepakan kakinya semakin keras saat ia berjalan memasuki satu ruangan yang terletak di lantai dua. Dengan tatapan datarnya, netranya menatap pada sebuah bangku kosong yang terletak di sudut ruangan.

"Kesepakatan bodoh!" Makinya berjalan mendekat pada bangku kosong itu.

Brakk

Tendangan kerasnya membuat bangku itu terpental keras mengenai dinding menimbulkan bunyi keras memecah kesunyian.

"Arrgghh! Gue gak bisa! Ini gila!" Teriaknya frustasi.

Mata gelapnya menatap tajam pada foto yang terpajang di dinding. Gambar seseorang yang tersenyum lebar dengan ginsul kecil di giginya membuat nya terlihat sangat manis.

"Lo penyebab semuanya." Dengan tangan yang mengepal matanya menatap benci pada orang yang ada di foto itu.

"Gue benci lo!" Sentaknya, dengan sekali tarikan foto itu terlepas dari dinding dan jatuh berderai di lantai.

Suara pecahan menggema memenuhi sudut ruangan itu.

"Gak guna anjing! Bangsat! Arrggghh.." Teriaknya begitu frustasi menginjak poto itu penuh emosi dengan kakinya yang terbungkus sepatu flat putih.

Setitik air mata mengalir di sudut matanya yang gelap.
"Bodoh!"

Kehidupan? Dia benci yang namanya kehidupan. Dia benci yang namanya detak jantung yang dimilikinya saat ini. Apabila bisa memilih ia lebih memilih tetap disana, disuatu tempat yang tak akan bisa disentuh oleh siapa pun, kecuali hanya dirinya.

"Gue benci ini semua dan gue benci lo."

****

Hayolo..
Penasaran gak?
Aku sih penasaran loh,
Masa kalian gak?

Di vote ya, sekalian komennya♡

ERLEINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang