#02#

24 4 1
                                    

Happy Reading♡

****
Lima hari berlalu semenjak kejadian dimana Erfan membuat luka dipunggungnya. Dan sudah lima hari pula cowok itu menghilang dan meninggalkannya tanpa kabar.

Leina masih belum mengobati lukanya. Ingin mengobati sayangnya tangannya tidak sampai untuk menjangkau luka di punggungnya, alhasil dia hanya membiarkannya saja. Untung saja tidak terjadi infeksi pada lukanya.

Leina berharap Erfan tidak pernah kembali pulang, biarlah ini kali terakhir cowok itu menyakiti fisiknya. Rasa bencinya pada cowok itu mengalahkan kebaikan cowok itu yang sudah menolongnya dari kejadian itu.

Leina tidak peduli lagi dengan semuanya, mau cowok itu mati sekalipun Leina tetap tidak peduli. Leina tersenyum miris, dengan pelan ia menuruni ranjang dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Ini adalah hari terakhir Leina liburan semester dua sekolahnya. Dan besok ia sudah harus kembali ke sekolah sebagai murid kelas sebelas.

Leina menatap pantulan dirinya di kaca kamar mandi. Sudah lima hari dia tidak mandi karena lukanya yang belum mengering. Jangankan untuk mandi tidur saja ia harus telungkup biar tidak mengenai lukanya.

Leina memegang rambutnya yang sudah sangat lepek. Gadis itu sangat membenci rambut hitamnya yang sudah bermiyak jika disentuh. Karena tidak tahan dia memutuskan untuk mandi.

Dengan pelan Leina membuka pakaiannya, supaya tidak mengenai lukanya yang belum cukup kering. Mata gadis itu memandang kaca di depannya, dapat terlihat dengan jelas tulisan yang terukir di punggung bagian kirinya di kaca. Sebuah nama yang Leina ketahui nama akhir dari Erfan.

Lalu matanya beralih menatap lehernya yang merah keunguan yang sudah agak memudar akibat ulah cowok brengsek itu. Leina membencinya.

Ya, Erfan tergolong cowok brengsek, gila, dan gak ada otak menurut Leina. Melakukan apa yang dia mau tanpa memedulikan dirinya. Yang terpenting di otaknya hasrat itu terpenuhi.

Entah petaka apa yang menyebabkan dia harus bertemu dengan cowok itu. Leina menyadari bahwa ini bukanlah kebetulan pasti sudah disusun dengan rapi olehnya. Jika memang kebetulan tidak mungkin Erfan melarangnya untuk mencari tahu kejadian kebakaran itu.

"Gue harap lo gak balik Erfan." Gumam Leina dengan nada benci.

"Gue sangat berharap lo mati, dan menjauh dari hidup gue."

Kalimat itu selalu diucapkan Leina saat kebenciannya pada Erfan meingkat. Tapi itu hanya bisa menjadi kalimat yang tidak berujung dan tidak pernah terkabul. Karena semakin Leina membencinya semakin cowok itu sulit untuk menghilang.

Tok tok

Bunyi ketukan di pintu kamar mandinya membuat tubuh Leina menegang. Harapan Leina yang berharap cowok gila itu tidak balik lagi-lagi musnah.

Erfan datang.

"Lein." Panggilnya.

Panggilan itu sudah cukup menjadi  bukti bahwa tebakannya benar. Hanya cowok itu yang memanggilnya dengan nama itu. Lein.

"Kenapa lo balik Fan? Kapan lo hilang dari hidup gue?" Lirih Leina pelan.

Leina tidak berniat sama sekali untuk menjawab panggilan cowok itu. Pikirannya mendadak kosong. Mulutnya terkatup rapat, bahkan hanya untuk sekedar mendehem atau mengucapkan apa sangatlah berat di bibirnya.

"Buka pintunya, gue tau lo di dalam." Kata Erfan dari luar.

Lagi-lagi tidak ada jawaban dari dalam membuat Erfan menggeram kesal.

"Lo diam Lein? Apa perlu gue buat lo gak bisa bicara benaran?" Kata Erfan.

Leina tetap diam, tidak peduli. Lebih baik dia tidak bisa bicara sama sekali dari pada harus merespon ucapan Erfan. Jika bisa sekalian dirinya mati. Tanpa memedulikan, dengan cepat dia membersihkan tubuhnya. Sesekali keluar ringisan di bibirnya saat air dan sabun mengenai lukanya. Bunyi gemercik air memenuhi ruangan itu.

ERLEINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang