12. Under the Moonlight

344 101 22
                                    

Sejak hari dimana Eleanor menegaskan perasaannya pada Matthias, Matthias memutuskan untuk benar-benar pergi dari istana. Ia meminta pada Edgar agar dipindahtugaskan untuk mengawasi pekerjaan para petani saja di ladang.

Tujuannya? Tentu saja untuk mengindari Eleanor. Ia sudah berjanji akan pergi, bukan? Dengan begini ia telah menepati janjinya pada Eleanor.

Kalau begitu bagaimana dengan Eleanor?

Yah, selama Matthias tidak ada di istana, Eleanor menyadarinya, tetapi ia diam saja, karena dirinya tidak ingin merasa memberi harapan untuk Matthias.

Hari-hari berlalu dengan cepat dan tidak terasa, besok malam adalah malam bulan baru. Dimana bulan purnama akan naik sempurna di atas langit.

Malam yang tanpa Eleanor sadari, akan menjadi malam yang penuh dengan pertumpahan darah.

Malam yang tanpa Eleanor sadari, akan menjadi malam yang penuh dengan pertumpahan darah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Apa yang harus aku lakukan untuk membantu rencana Ethan?" Tanya Eleanor pada Fabien.

Mereka berdua sedang mengobrol di tempat yang cukup tersembunyi, di salah satu sudut istana yang jarang sekali dilewati oleh siapapun.

"Tidak ada, kau tidak perlu melakukan apapun. Cukup diam saja dan tetap hidup untuk Ethan, tengah malam nanti aku akan pergi untuk membantu Ethan bersama pasukan lainnya untuk mempersiapkan apapun kebutuhannya," jelas Fabien.

"Aku ingin ikut!" Ujar Eleanor.

"Tidak, kau harus bersabar. Besok kau akan kembali bertemu dengan Ethan, tapi tidak sekarang. Kau hanya akan membuat fokusnya teralihkan!" Fabien sedikit kesal melihat ketidaksabaran Eleanor.

Wajar saja sebenarnya, mengingat Eleanor tidak bertemu Ethan selama berapa lama. Tentu saja ia sangat merindukan suaminya.

Namun pada akhirnya Eleanor tetap mengangguk mengikuti arahan Fabien.


Saat langit sudah amat gelap, Fabien mulai bergerak. Ia menyelinap melalui pintu belakang yang tersembunyi dibalik lukisan besar, pintu tersebut mengarah ke sebuah taman bunga luas yang berada di bagian belakang istana, menghadap langsung ke jendela kamar Eleanor.

Taman bunga itu tidak dijaga oleh para penjaga istana karena sekelilingnya sudah cukup terlindungi oleh tembok benteng tinggi yang terbuat dari batu.

Satu hal yang hanya sedikit orang tau, di ujung taman bunga itu, –di bagian yang dibiarkan tidak terurus, terdapat sebuah pintu kayu yang diselimuti tanaman rambat mengarah langsung ke hutan timur, Fabien hanya perlu keluar melalui pintu itu kemudian berjalan lurus sampai hampir keluar di sisi lain hutan, dan disanalah Ethan beserta pasukannya berkemah.


Ketika Fabien sampai, Ethan dan pasukannya baru saja selesai berburu. Mengasah kemampuan sekaligus mengisi energi yang tentunya akan sangat diperlukan untuk berperang besok malam.

Samael dan Eric masih bercanda-canda, saling dorong satu sama lain, in a playful manner, of course. Ethan tersenyum melihat keakraban mereka. Sekali lagi terbawa ke masa lalu, disaat kakak kembarnya belum telarut dalam ambisi dan iri hatinya.

Ia merindukan saat-saat seperti itu, namun mengingat apa yang sudah dilakukan Edgar kepada Ayahnya hanya demi takhta membuat amarah Ethan seketika kembali tersulut.

"Oh, sudah datang? Kau yakin tidak ada yang mengikutimu 'kan?" Ujar Ethan ketika melihat Fabien mendekatinya, melepas tudung dari jubah berwarna gelap yang ia kenakan.

Fabien mengangguk.

"Bagaimana keadaan istriku?"

"Eleanor baik-baik saja, dan masih tetap merindukanmu tentunya." Jawab Fabien sedikit acuh.

Ethan terkekeh, sebagian besar dorongan untuk memenangkan kekuasaan berada pada Eleanor. Karena ia tau istrinya itu masih tetap menunggunya di istana, dan ia tidak ingin istrinya hidup ditindas dibawah bayang-bayang Edgar yang semena-mena.

"Kau masih ingat rencananya, 'kan?" Tanya Ethan.

"Tentu saja, kita serang mereka saat bulan purnama berada tepat di atas. Fokus pada pasukan yang membelot terutama Edgar, dan lindungi penduduk sipil,"

"Ingatanmu bagus juga ternyata," Ethan tertawa kecil.

"Berhenti tertawa, aku tau kau sebenarnya gugup," Fabien berujar ketus.

"Tentu saja aku gugup, aku harus melindungi rakyatku, pasukanku, dan terutama istriku. Dan hanya ada satu cara untuk melakukannya, yaitu mengalahkan saudara kembarku sendiri," sedikit kesal, Ethan menulis nama Eleanor di atas tanah yang seperti sihir, membuatnya kembali tersenyum.


'Tenang saja, aku akan membuat semuanya kembali seperti semula untuk kita,'

Janji Ethan dalam hatinya, dibawah cahaya rembulan yang menembus sela dedaunan.

Full Moon • The Boyz [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang