Awan semakin gelap kala hujan turun di sore itu. Kenta membungkus tubuh Anta dengan selimut, tapi hanya sampai sebatas pinggang, takut jika selimut membungkus seluruh tubuh Anta, maka akan membuatnya sesak napas. Setelah itu, Kenta mendudukan dirinya di sebelah Anta, bermain dengan jari-jari pucat adiknya yang dingin.
Anta terpejam, tapi tidak tertidur. Dia bisa merasakan semua gerakan yang Kenta lakukan. Tapi merasa nyaman, apalagi saat Kenta menggenggam jemarinya dan memainkannya seperti ini. Kebiasaan yang sering Kenta lakukan saat mereka kecil dulu.
Sejak pagi, Anta tidak bisa bangun barang sejenak saja. Ada rasa panas yang menjalar di dadanya kala dia banyak bergerak. Jadi, hampir seharian ini, Anta hanya berbaring di balik selimut. Wajahnya juga pucat dan tirus.
"Kak," Anta bergumam pada ruangan yang hening. Kenta menunduk ke bawah, menatap wajah Anta. "Kenapa Ta?" Tapi Anta tidak menjawab, hanya menggenggam tangan Kenta erat-erat.
"Dingin, ya?" Kenta agak khawatir kala merasakan suhu tubuh adiknya yang dingin. Dia menggosok tangan Anta di telapak tangannya yang lebih besar dan hangat.
Anta menggeleng lemah, "enggak. Kan ada lo, jadi gue nggak akan kedinginan." Suara Anta lemah dan serak, nafasnya juga berat, jadi Kenta tidak lagi bertanya. Dia semakin khawatir dengan cuaca akhir-akhir ini yang semakin lebih dingin. Hujan sering datang tanpa perkiraan.
"Kak, kapan pulang?" Mungkin Anta sudah sangat bosan tinggal di rumah sakit, jadi dia bertanya tanpa membuka mata.
"Sabar, Ta, besok kalau lo udah baik-baik aja, kita pulang." Ada senyum getir yang coba Kenta tahan. Keadaan Anta, sangat-sangat tidak baik dari waktu ke waktu. Tapi dia juga tidak mungkin mengatakan hal yang akan membuat adiknya terpuruk.
"Kenapa lo selalu bohong, Kak?" Akhirnya Anta membuka mata, menatap iris Kenta.
"Maksud lo apa, Ta?"
"Kata-kata lo tadi, gue tau kok, gue nggak akan pernah baik-baik aja. Kak, nggak ada salahnya untuk jujur, ini kondisi gue sendiri. Tanpa lo bilang apa pun, gue jelas tau apa yang terjadi."
Kenta merasa bersalah, jadi tidak berani menatap Anta. "Maaf. Tapi gue nggak mau buat lo jadi kehilangan semangat, Ta."
Dengan memaksakan tubuh lemasnya, Anta mencoba untuk duduk. Akhirnya Kenta membantu, setelah menyusun bantal sedikit lebih tinggi, agar Anta bisa bersandar di sana. Tapi bukannya bersandar pada bantal yang Kenta siapkan, justru Anta bersandar di bahu Kenta.
"Gue nggak akan kehilangan semangat, karena semangat gue itu lo, Kak. Maka dari itu gue selalu minta, jangan pernah tinggalin gue. Walau ... mungkin gue duluan yang harus pergi." Suara Anta memelan di akhir kalimat.
Degub jantung Kenta melonjak setelah mendengar kalimat terakhir Anta. Berulang kali sudah, dia mencoba untuk meyakinkan dirinya, untuk membuat dirinya kuat, kala masa itu akan datang. Tapi tetap saja, bila mendengar dan diingatkan tentang itu, rasa takut tetap melanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| KENANG
Teen Fiction[TERBIT] [Part Tidak Lengkap!] Ini bukan tentang pertemuan sederhana, tapi ini tentang ikatan yang bermakna. Sebuah usaha demi seseorang yang berharga. Kepingan kisah yang disatukan, hanya untuk sosok itu, yang hadirnya tidak pernah bisa dihilangkan...