Dua hari lalu, Anta sudah sadar dari tidur panjangnya, yang mana membuat Kenta pada akhirnya bisa bernafas lega. Walau keadaan Anta tetap sama, tidak menunjukan perubahan apa pun yang sekiranya membuat Kenta berhenti untuk khawatir pada adiknya.
Tapi dengan sadarnya Anta, itu sudah cukup bagi Kenta.
Selama Anta tertidur pada hari itu, Kenta tidak pernah beranjak sedikit pun dari sisi Anta. Karena Kenta takut, kelak, saat Anta terbangun, dia tidak menyaksikan kehadiran sang kakak. Kenta mau, Anta tau bahwa dia selalu ada di sana. Bersamanya.
Sore ini, Anta mengajak menyaksikan senja di taman rumah sakit. Kenta menolak pada awalnya, tapi mengingat selamat ini Anta sudah terlalu lama terkurung, akhirnya dia setuju, dan membawa Anta ke taman.
Angkasa sangat cerah dengan goresan senja yang indah. Memanjakan iris kelam Anta dan Kenta. Bahkan untuk sejenak, ke duanya tidak bisa berpaling untuk melihat yang lain.
"Kak?" Tiba-tiba suara lirih Anta terdengar. Dengan gerakan lembut, Kenta menoleh dan menatap wajah pucat Anta.
"Kenapa, Ta?"
"Gimana rasanya hidup tanpa rasa sakit?"
Kenta terdiam sejenak. Setelah itu menjawab, "nggak ada yang namanya hidup tanpa rasa sakit, Ta. Hidup itu seimbang, kala lo susah akan ada senang. Kala lo sedih, akan ada tawa. Kala lo sakit, akan ada bahagia. Kita semua pasti bertemu hal-hal itu."
"Kadang, gue ngerasa hidup ini nggak adil, Kak. Kenapa harus gue yang nggak pernah bisa gapai Mama dan Papa?"
"Ta, dari jutaan manusia, gue yakin bukan hanya lo. Mungkin ... ada yang lebih parah dari lo. Yang nggak pernah ngerasain rasanya hidup bareng orang tua. Takdir memang seperti ini, Ta. Selalu nggak adil buat kita. Tanpa kita tau, mungkin aja Tuhan udah merencanakan yang lebih indah."
Anta terdiam.
"Maaf, Kak, gue selalu berburuk sangka." Kepala Anta tertunduk pada akhirnya. Kenta justru tertawa kecil, dan merangkul bahu cowok itu. Kenta memaklumi, bagaimana pun, Anta adalah seorang anak enam belas tahun yang sedang gencar mencari perhatian.
"Mulai detik ini, lo harus lebih banyak bersyukur. Kita jalani aja semuanya sebagai mana mestinya, Ta."
"Tapi lo harus tetep di sini. Jangan pergi." Kemudian Anta meletakan kepalanya di bahu Kenta.
Tanpa mereka sadari, angkasa sudah hampir menggelap. Goresan berwarna jingga itu sudah terlihat samar dan hampir menghilang. Kenta kemudian membawa Anta masuk. Karena angin yang semakin kencang.
Dalam perjalanan kembali ke kamar, Anta terus tersenyum. Hingga lubang di pipinya sangat jelas terlihat. "Makasih, Kak, untuk sore ini. Gue harap besok, dan sampai kapan pun, kita bisa lihat senja sama-sama."
Kenta tidak menjawab, tapi dia mendengar dengan jelas ucapan adiknya. Bising yang terjadi di koridor membuat Kenta lega, karena dengan begitu, Anta tidak akan curiga jika dirinya tidak merespon.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| KENANG
Teen Fiction[TERBIT] [Part Tidak Lengkap!] Ini bukan tentang pertemuan sederhana, tapi ini tentang ikatan yang bermakna. Sebuah usaha demi seseorang yang berharga. Kepingan kisah yang disatukan, hanya untuk sosok itu, yang hadirnya tidak pernah bisa dihilangkan...