Tahun 1207. Di kota Samarkand. Tak ada yang sanggup menghalangi sebuah takdir Ilahi atas
suatu kaum. Tak ada yang sanggup untuk menghindar jika kalam telah dituliskan dan
ketetapan sudah diturunkan. Masa para raja-raja menggigit, yang berarti masa itu para
penguasa bak seorang pendaki gunung yang terjal dan berusaha mengigit Al Quran dan As
Sunnah dengan gigi-gigi mereka agar tak jatuh dan terabaikan.
Kehidupan yang penuh dengan fitnah, tak sedikit yang tergoda dengan fitnah
kekuasaan. Tak sedikit melanggar apa yang digariskan dalam aturan yang telah mereka
"gigit" dengan geraham mereka, karena kedua tangannya sibuk berpegangan pada tali dunia
untuk mencapai kemahsyuran dan kekuasaan yang fana. Syariat Ilahi banyak yang sudah
terabaikan, sedangkan mereka sibuk mengejar dunia dan saling serang.
Sebuah rasa sesak dan sedih menghujam kalbu sosok berjubah putih dengan sorban
di atas kepalanya. Dahinya berkerut, alisnya bertaut. Dia berjalan dengan sebilah tongkat di
tangannya, sebuah buntalan kain di pundaknya, sepatunya yang berdebu menunjukkan dia
melakukan perjalanan yang jauh. Lelaki berjenggot panjang yang sudah beruban itu
berwajah teduh.
Si Jubah Putih tak sendiri, ada seorang lelaki yang lebih muda menemani
perjalanannya. Dia memakai topi kerucut dan sorban yang dililit di atas kepalanya. Baju
gamis mereka berkibar tertiup angin padang rumput. Suasana menjelma menjadi warna
tembaga karena sinar matahari yang perlahan masuk ke peraduan. Angin senja membawa
bau amis darah dari kota Samarkand.
Kedua lelaki itu berjalan menuju sebuah bukit, lalu berdiri mematung di atas
tumpukan batu yang membuat jarak pandangnya leluasa ke arah lembah. Di depan matanya
sebuah peperangan yang usai, menyisakan puing-puing reruntuhan kota. Samarkand yang
sebelumnya dikuasai Qara Khitai akhirnya jatuh ke tangan Khawarizm. Asap membumbung
dari api-api yang masih berkobar. Para prajurit terluka dan mayat-mayat bergelimpangan
diangkut satu persatu untuk dikuburkan. Bayangan mereka terlihat bak titik-titik hitam jika
dilihat dari arah bukit. Sang Lelaki Tua menghela napas sambil menatap ke langit.
"Katakanlah, "Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau
kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang
Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu".
Setelah mengucapkan sebuah ayat tentang kekuasaan di tangan Allah, lelaki itu menatap
nanar ke arah lembah.
"Tuan, apakah kita akan lanjutkan perjalanan menuju kota? Samarkand sudah
ditaklukkan, tak mudah jika kita masuk kota malam ini," tanya lelaki yang lebih muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIYAH (Senja Turun Di Kota Samarkand)
Historical FictionNovel Pemenang Naskah Terbaik ke III Event ASKS Banjarmasin 2023, Kalimantan Selatan Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah akhir. Dia bersahabat dengan teman-te...