Suara genderang ditabuh dan alat musik dimainkan di kediaman Tuan Nashruddin. Hari ini ada sebuah acara besar di kediaman sang Panglima. Mereka mengadakan pesta pernikahan antara Muazzam dengan Hamida, putri Tuan Ozturk seorang panglima perang yang ditugaskan di Otrar. Tamu-tamu berdatangan memberikan ucapan selamat. Muazzam terlihat begitu berbahagia duduk bersama ayahnya dan Tuan Ozturk. Nona Maryam menyambut para tamu perempuan bersama Bibi Khanum, sedangkan Laila sedari tadi asyik makan kue bersama Humayun.
Shafiyya berserta para pelayan sibuk mengantar makanan dan melayani tamu. Rumiyah berdiri di balik tangga menatap Muazzam. Pandangan matanya sedih, lalu dia beranjak pergi keluar rumah. Shafiyya melihat Rumiyah menyelinap pergi, tapi tak sempat memanggil karena tamu sudah menunggu makanannya minta diantarkan.
Rumiyah berjalan cepat-cepat keluar rumah. Dia berjalan berbaur dengan penduduk yang lalu lalang di jalanan lalu naik gerobak orang menuju keluar kota. Sesampainya di pinggir sungai dia turun, lalu duduk di atas batu. Angin bertiup membuat anak rambutnya melambai-lambai. Wajahnya cemberut, dia sendiri tak paham mengapa dalam hatinya ada rasa sakit yang menghujam. Dia merasa kehilangan Muazzam. Dia takut kehilangan perhatian dari Muazzam setelah Tuan Mudanya menikah dengan Hamida. Dia tahu Muazzam akan ditugaskan ke Otrar setelah menikah. Rumiyah hanya bisa menghela napas.
Muazzam sudah dianggap sebagai idola dan guru baginya. Tuan Mudanya tak pernah membedakan antara dirinya yang anak pelayan dengan Laila adik kandungnya. Muazzam yang mengajarinya berkuda dan bermain tombak, bahkan lelaki itu sengaja mendesain senjata yang mini untuknya agar mudah digunakan.
"Rumiyah, ingatlah pesanku. Kau harus bisa jaga dirimu sendiri dan ibumu. Untuk itulah aku mengajarimu hal ini. Saat ini masa yang tak menentu. Perang bisa sewaktu-waktu meletus. Kamu punya potensi yang bagus untuk dididik menjadi seorang prajurit. Aku bisa melihat langsung dari matamu. Kau berbeda dengan anak-anak perempuan yang lain. Tak hanya harus bisa melakukan pekerjaan perempuan, belajar untuk menuntut ilmu, tapi juga harus belajar mandiri dan bela diri. Setelah menikah aku akan ke Otrar karena Shah memintaku membantu Tuan Inalchug menjaga batas negeri. Baik-baik di sini, aku titip Nona Maryam dan Laila padamu," pesan Muazzam saat mereka selesai berlatih melempar tombak di lembah di belakang kediaman Tuan Nashruddin.
Rumiyah akan mengingat pesan Muazzam saat itu. Disaksikan matahari yang mulai surut ke barat, Rumiyah akan memenuhi janjinya pada sosok yang sudah dianggapnya sebagai kakak.
"Mengapa kau bersedih?" tanya sebuah suara yang Rumiyah kenal.
Rumiyah langsung menoleh. Dia melihat Humayun berjalan menuju ke arahnya. Rumiyah menyeka air matanya yang tanpa sadar sudah menetes dari pelupuk matanya.
"Mengapa kau ke sini?" tanya Rumiyah balik tanpa menjawab pertanyaan Humayun. Pandangannya kembali ke arah anak sungai Syr Darya yang mengalir tenang.
"Aku melihat kau pergi diam-diam. Jadi aku mengikutimu," jawab Humayun.
Rumiyah melihat kuda tertambat agak jauh dari tempat mereka.
"Kau membawa kudamu?" tanya Rumiyah.
"Ya, apakah kau mau naik kuda? Ayo," tawar Humayun.
Wajah Rumiyah langsung cerah. Humayun tersenyum merasa senang karena Rumiyah mudah untuk dihibur.
Rumiyah langsung turun dari batu, lalu berjalan menuju kuda milik Humayun. Anak lelaki itu membantu Rumiyah naik kuda, sedangkan dia sendiri berjalan sambil memegangi tali. Mereka menyusuri pinggir sungai kembali ke kota.
"Kau sedang sedih?" tanya Humayun penasaran dengan yang dirisaukan oleh Rumiyah.
Rumiyah mengangguk.
"Kau bisa cerita padaku jika kau mau. Aku akan menjaga rahasiamu. Tapi jika kau tak percaya, tak apa-apa," lanjut Humayun ingin tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIYAH (Senja Turun Di Kota Samarkand)
Historical FictionNovel Pemenang Naskah Terbaik ke III Event ASKS Banjarmasin 2023, Kalimantan Selatan Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah akhir. Dia bersahabat dengan teman-te...