Kota Samarkand mulai tenang. Para penduduk yang mengungsi diperkenankan masuk ke
kota, walau tak sedikit dari mereka yang kehilangan sanak saudaranya. Tak sedikit juga
rumah-rumah mereka hancur berantakan. Peperangan yang kejam telah menorehkan
kepedihan yang akan selalu dikenang. Setelah selama ini dikuasai oleh Qara Khitai, mereka
memiliki seorang pemimpin baru, Shah Al Ad Din Muhammad II, penguasa Khawarizm.
Satu persatu para pengungsi digiring masuk ke dalam kota dan diperiksa. Seorang
perempuan berkerudung compang-camping, dengan sepatu kulit yang robek ujungnya
berjalan bersama seorang gadis kecil bermata biru jernih.
Gadis kecil itu memakai kerudung katun pendek yang diikatkan di bawah dagunya.
Gamis sepanjang lututnya kumal, bahkan celananya robek di bagian lutut. Raut mukanya
tegang dan terlihat khawatir jika sesuatu menimpa mereka saat masuk ke dalam kota. Dia
berbaur bersama para pengungsi dengan wajah-wajah kuyu penuh debu mengantri berdiri
mengular bergantian masuk ke kota.
Kelompok pengungsi itu tak sendirian masuk ke kota, seorang lelaki tua bersorban
putih dengan tongkat di tangannya mengantar mereka, beserta beberapa prajurit
Khawarizm yang ditugaskan mengumpulkan kembali para penduduk Samarkand yang lari
mengungsi keluar kota.
Seorang penjaga gerbang kota menatap si Lelaki Tua bersorban, lalu sedikit
membungkukkan badan memberi hormat.
"Tuan Syeifiddin. Saya mendengar kabar bahwa Anda sudah dua hari yang lalu
datang dari Urgench ke Samarkand untuk membantu para korban perang. Saya sangat
senang dan merasa terhormat bisa bertemu dengan Anda," sambut sang pemimpin prajurit.
Lelaki yang dipanggil Tuan Syeifiddin itu pun tertawa kecil.
"Kami datang untuk membantu. Izinkan kami segera masuk, karena para korban
perang sudah menunggu pertolongan" ucap Tuan Syeifiddin sambil memberi tangannya
menunjuk ke arah para pengungsi yang ada di belakangnya.
"Baik, Tuan. Silakan," jawab sang pemimpin prajurit lalu mempersilakan rombongan
pengungsi yang datang bersama Tuan Syeifiddin masuk ke dalam kota.
Perempuan kumal berkerudung compang-camping berjalan cepat-cepat menuju ke
tengah kota bersama gadis kecil bermata biru. Kondisi dalam kota tak separah yang
diperkirakan, tapi di pinggiran kota kehancuran tak terelakkan. Kota terlihat lengang karena
hampir separuh penduduk mati di medan perang yang tertinggal hanya perempuan, anak
anak dan orang tua.
Prajurit Khawarizm lalu lalang, menata kembali kota dan berpatroli. Si Perempuan
merasa khawatir jika terjadi sesuatu dengan diri mereka, mengingat mereka hanya seorang
perempuan dan seorang anak kecil. Dia khawatir jika para prajurit-prajurit Khawarizm itu
akan berlaku kurang ajar terhadap mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIYAH (Senja Turun Di Kota Samarkand)
Historical FictionNovel Pemenang Naskah Terbaik ke III Event ASKS Banjarmasin 2023, Kalimantan Selatan Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah akhir. Dia bersahabat dengan teman-te...