MENUNTUT ILMU DI MADRASAH AL ILM
Cericit burung-burung Skylark di padang rumput memeriahkan pagi. Rumiyah baru saja dimandikan ibunya. Dia berdiri di atas ranjang tidurnya memakai selembar kain membalut tubuhnya yang kurus. Dia memandang langit di luar rumah melalui jendela dengan dua mata birunya yang bening. Hari ini cerah secerah hati Rumiyah. Hatinya gembira karena Maryam akan mengajaknya ke madrasah Tuan Syeifiddin untuk belajar agama.
"Rumiyah, pakai ini," ucap Shafiyya muncul dari balik tirai sambil membawa baju sutera indah merah kombinasi biru tua bersulam emas.
Rumiyah menoleh, lalu turun dari ranjang. Dia melompat begitu saja dengan semangatnya.
"Ini baju dari Nona Laila. Pakailah!" pinta ibunya.
Rumiyah tersenyum, lalu memasang baju dan celananya. Ibunya mengambil minyak rambut yang berbau harum mawar dan sisir.
Setelah Rumiyah memasang baju, dia duduk di dekat ibunya di tepi ranjang yang terbuat dari kayu dan selimut tipis sebagai pengganti kasur.
"Belajar yang rajin. Dengarkan nasehat Tuan Syeifiddin. Jangan jauh-jauh dari Nona Maryam," nasihat ibunya sambil meminyaki rambut Rumiyah.
"Ya, aku akan selalu di dekat Nona Maryam," janji Rumiyah.
"Akan ada banyak pengunjung hari ini di madrasah, jaga sikapmu. Ya, sudah selesai. Jangan lupa pena dan bukumu. Catat yang baik," nasihat Shafiyya tanpa lelah pada anak gadisnya.
Shafiyya telah selesai mengikat rambut anaknya. Dipandanginya wajah Rumiyah. Tiba-tiba sekelebat rasa sedih menyusup di dalam hatinya. Shafiyya teringat masa lalunya saat memandang gadis kecil bermata biru yang ada di hadapannya.
"Berangkatlah," ucap Shafiyya.
Rumiyah mengangguk. Dia mengambil selembar kerudung sutera merah, lalu memakainya sebagai penutup kepala. Ujung kerudungnya diikatkan di bawah dagu. Ibunya membantu memasang sepatu kulit. Rumiyah tersenyum memandang sang ibu lalu memeluknya.
Shafiyya begitu bangga pada Rumiyah. Hari ini pertama kali Rumiyah memakai baju sutera, walau pemberian orang lain. Hari ini juga pertama kali Rumiyah diizinkan untuk ikut ke madrasah agama bersama nona-nona majikannya. Rumiyah berlari keluar rumah dengan gembira. Langkah mungilnya menderap dengan semangat ingin menuntut ilmu.
Shafiyya memandang kepergian Rumiyah dengan air mata yang berembun di pelupuk matanya. Dia menghela napas, lalu masuk ke dalam rumah. Dia menuju kamarnya, lalu berjalan menuju sebuah lemari kayu yang sudah usang. Dia membuka laci, lalu mengambil sebuah bungkusan kain. Shafiyya membuka kain itu yang ternyata sebuah baju bayi yang dipakai untuk membungkus sebuah belati bergagang merah dengan hiasan batu mulia yang indah.
"Rumiyah, tak terasa sudah tujuh tahun," gumam Shafiyya sambil mengelus belati itu, "Maafkan saya ... maafkan saya," lanjut Shafiyya mulai menangis, lalu membungkus kembali belati itu ke dalam baju bayi dan menyimpannya ke dalam laci. Shafiyya menyeka air matanya, lalu keluar dari kamar.
***
Rumiyah menyusuri lorong rumah Tuan Nashruddin menuju kamar Laila sambil sesekali melompat-lompat kegirangan. Langkahnya berhenti saat mendengar suara dengan nada tinggi dari dalam kamar.
"Aku tak mau pakai yang itu! Aku mau pakai yang ini!" teriak seseorang dari dalam ruang berpintu kayu berukir indah di depan Rumiyah.
"Pasti cerewet lagi pas pakai baju," batin Rumiyah mengomentari Laila yang begitu cerewet dalam masalah penampilan.
Rumiyah mendorong pintu, lalu masuk begitu saja. Laila memandang ke arah Rumiyah yang sudah cantik berdandan. Mata Laila berbinar mengagumi Rumiyah yang terlihat berbeda dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIYAH (Senja Turun Di Kota Samarkand)
Fiksi SejarahNovel Pemenang Naskah Terbaik ke III Event ASKS Banjarmasin 2023, Kalimantan Selatan Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah akhir. Dia bersahabat dengan teman-te...