Sebuah pedang akan tajam jika diasah. Sebuah besi akan menjadi berguna jika ditempa dan dibentuk. Dibakar dalam kesengsaraan, dikepung api yang membarakan kesabaran. Rumiyah berjalan di bawah terik matahari menuju ke kandang kuda. Di tangannya sebuah sekop dan keranjang yang akan digunakan untuk membersihkan kandang kuda.
Tangan mungilnya sudah terbiasa bekerja keras sejak kecil. Tak mudah menjadi anak seorang pelayan, hidupnya penuh kerja keras. Tak pelak di umurnya yang masih tujuh tahun, tangan dan kakinya sudah penuh kapalan, karena pekerjaan kasar yang digelutinya. Tak pernah sekalipun dia menggunakan baju sutera dan kerudung indah seperti para bangsawan. Yang dia pakai hanya dari bahan katun kasar dan sepatu kulit yang terkelupas. Celana, gamis dan rompinya kumal dan hanya memiliki dua pasang baju saja.
Walau dari keluarga pelayan rendahan, dia tak kurang kasih sayang dari ibunya. Shafiyya, ibunya perempuan yang tegas, tapi sabar. Ada saat dia diomeli karena sebuah kesalahan, tapi Rumiyah menganggap itu bentuk kasih sayang ibu padanya. Rumiyah tahu ibunya memiliki hati yang lembut di balik ketegasannya.
Rumiyah ingat setelah dipukuli Bibi Khanum, Maryam, kakak Laila mengantarnya pulang sambil tertatih-tatih. Ibunya langsung memukul pantatnya begitu tahu duduk permasalahannya. Walau setelah itu ibunya memandangnya dengan rasa kasihan, lalu memeluknya. Disingkapnya celana Rumiyah, dan diperiksanya bilur-bilur merah bekas pukulan rotan di betisnya. Shafiyya menghela napas.
"Baru saja kutinggal sehari kau sudah membuat masalah. Rumiyah, sudah kubilang jangan ajak Nona Laila melakukan hal yang aneh-aneh. Lihat hasil dari kelakuanmu. Tengkurap di situ, ibu akan mengambilkan obat untukmu," ucap Shafiyya.
Rumiyah hanya diam saja tak mendebat, dia memandang ibunya. Perempuan yang baik itu menghilang dari balik tirai, lalu masuk ke dalam kamar lagi membawa obat oles dalam botol keramik.
"Tahan, jangan merengek," ucap ibunya.
Rumiyah mengangguk. Menahan sakit sambil meringis kesakitan. Tak ada keluh mengaduh dari bibirnya. Air matanya mengembun, memerahkan matanya, tapi dia harus tahan semua kepedihan yang dia terima.
"Maafkan ibu. Ibu sudah memukulmu. Kau tahu Nona Laila lemah. Jika terjadi apa-apa dengan Nona Laila, keluarga kita juga takkan lepas dari hukuman. Ibu juga akan kehilangan pekerjaan. Tuan Nashruddin sangat menyayangi Nona Muda. Ada baiknya kau tahu diri. Ada baiknya kau dipukul Bibi Khanum, sebagai pelajaran agar kau tahu batasan," omel Shafiyya dengan suara yang rendah.
"Nona Laila ingin tahu dunia luar ibu. Aku tak sampai hati menolak keinginannya. Aku tahu dia sering sakit-sakitan. Mana bisa aku menolak keinginannya untuk melihat dunia di luar benteng," ucap Rumiyah mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.
"Kau harus tahu batasan. Paham!" cetus Shafiyya.
"Ya, aku tahu aku salah," ucap Rumiyah.
"Bagus kalau kau tahu," ujar Shafiyya, "jangan diulangi lagi," lanjut Shafiyya.
Rumiyah mengangguk, sambil masih meringis menahan pedih di betisnya. Setelah diobati, Rumiyah duduk dihadapan ibunya. Shafiyya menatap Rumiyah, lalu memeluknya.
Setiap hari Rumiyah bangun sebelum subuh, membantu ibunya menyalakan tungku, lalu sholat. Setelah sarapan roti gandum kasar, ibunya akan memandikannya dengan air hangat, memasangkan baju, lalu menyisir rambutnya yang berwarna hitam panjang, menganyam, lalu mengikatnya.
***
Siang itu, seperti biasa, setelah membantu keperluan Nona Laila, Rumiyah membersihkan kandang kuda. Dia masuk ke dalam kandang yang dibangun dari bebatuan kokoh. Diedarkannya pandangannya ke arah kandang-kandang kuda yang kosong, karena semua dibawa keluar oleh para pelatih. Ada sepuluh sekat ruang yang harus dibersihkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIYAH (Senja Turun Di Kota Samarkand)
Historical FictionNovel Pemenang Naskah Terbaik ke III Event ASKS Banjarmasin 2023, Kalimantan Selatan Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah akhir. Dia bersahabat dengan teman-te...