PROLOG

5.7K 318 14
                                    

Plak!

Tamparan keras itu melayang ke pipi Seokjin, begitu keras sampai wajahnya terdorong ke ke kanan, sangat keras sampai suaranya nyaring mencapai langit-langit ruangan. Wajah Seokjin kebas, pipinya sakit. Tapi dibanding itu semua itu, sakit di hatinya lebih terasa menusuk. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia ditampar oleh sang ibu. Tapi kesalahannya memang tidak termaafkan, tidak jika hanya dengan sebuah tamparan.

Ketegangan membias di antara mereka, Nyonya Kim bahkan tidak sanggup berkata-kata, hanya deru napasnya yang kian memberat. Seokjin pulang dengan membawa serta kekecewaan bersamanya. Dia tidak menyangka, hal ini terjadi pada putra bungsu yang begitu dibanggakannya.

"Maaf," Seokjin berkata dengan suara bergetar, berusaha keras menyembunyikan kepiluan. Tapi tak ayal genangan di bola matanya jatuh juga. "Mianhae, Eomma."

Nyonya Kim hanya bisa menggeleng, mencoba mencari kejujuran di mata sayu itu. Sebagai ibu yang telah mengasuh selama lebih dari 27 tahun, dia tahu anaknya tidak berbohong. Seokjin tidak pernah berbohong padanya.

"Aku selalu mengajarimu untuk menjadi orang yang bertanggungjawab, Seokjin-ah." Nyonya Kim menyeka wajahnya, terduduk di sofa dengan tatapan kosong.

Seokjin semakin merasa terpuruk, mungkin pulang ke rumah orang tuanya adalah tindakan bodoh. Tapi pikiran yang kalut menuntun kakinya untuk kemari, berharap bisa mendapat dukungan moral setidaknya dari orang yang telah membesarkannya. Tapi sepertinya dia telah salah mengambil keputusan.

Ketegangan belum mereda, masih ada Tuan Kim yang sedari tadi diam mendengarkan semua kisah yang dituturkan putra bungsunya. Responnya itu justru semakin membuat Seokjin ketakutan. Jika Ibu saja bisa menamparnya, Seokjin tidak punya ide apa yang akan Ayah lakukan untuk menghukumnya.

Seokjin tidak berani menatap sang ayah, dagunya yang selalu terangkat percaya diri itu sekarang layu tertunduk.

Tuan Kim menghela napas. Panjang dan sarat akan kekecewaan. Dia berbalik dan pergi dari ruang keluarga, memilih tidak mengatakan apapun karena daftar kosa katanya menghilang sejak Seokjin selesai mengungkapkan fakta.

Pengabaian.

Itulah bentuk hukuman yang Tuan Kim berikan. Dan jujur saja, bagi Seokjin itu lebih menyakitkan daripada ditampar atau dipukuli habis-habisan.

"Ibu," Seokjin menatap ibunya memelas. Sungguh dia tidak tahu lagi kemana dia akan pergi jika sang ibu juga menolaknya.

"Beri aku waktu, Jin-ah. Kau ..., pergilah ke kamarmu." Nyonya Kim juga ikut berlalu dari hadapan Seokjin.

Seokjin semakin merasa tidak berguna. Dia merasa rendah, terlalu rendah sampai-sampai kedua orang tuanya enggan untuk melihat dirinya. Mengusap wajah basahnya, Seokjin berusaha tegar. Bukan hanya orang tuanya, dirinya sendiri tidak bisa menerima kenyataan.

Hatinya dipenuhi amarah dan keputusasaan. Seokjin ingin meluapkannya, dia ingin mengumpati takdir. Tapi betapapun dirinya sangat ingin, pada akhirnya dia hanya sanggup berbisik lemah, "Maaf ... ."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Struggle • KSJ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang