obrolan

488 112 0
                                    

Reva sedikit terusik karena gerakannya tertahan oleh suatu hal. Ada lengan yang melingkar di sekitar pinggangnya, memeluk tubuh Reva dengan erat.

Perempuan itu hampir menjerit jika akal sehatnya tidak segera menyadarkannya bahwa ia sedang di tempat ia bekerja dan laki-laki di belakangnya bukan lah sesosok pria yang ia takuti dari semalam tadi.

Santai sekali temannya ini, seolah tempat ini adalah hotel dengan ketentuan check-out jam 12 siang dan pagi ini pria di belakangnya masih asik dengan kaos hitam dan celana hitam yang masih rapi terpasang.

Syukurlah, batin Reva.

Reva berusaha melepas lingkaran tangan laki-laki di belakangnya dengan sedikit menggerutu tentang betapa eratnya dia memeluk Reva.

Astaga, bukan siapa-siapa sudah pelukan di tempat haram pula.

"Rev..," bisik pria itu tiba-tiba. Suaranya lebih rendah dari semalam, membuat perempuan di pelukannya harus terbelalak kalau-kalau laki-laki di belakangnya adalah orang yang berbeda.

Yang di panggil dengan sekuat tenaga buru-buru melepas paksa, lantas mendorong pria di belakangnya dengan panik.

"Lo siapa?!"

Dan ketika wanita itu berbalik, dia hanya melihat temannya mengaduh dengan kesadaran yang masih belum terkumpul sempurna.

Ternyata orang yang sama, hanya suara serak baritonnya yang sedikit berbeda.

"Masih pagi loh, udah nggetak aja," ujar dia. Pria itu masih mengerjapkan matanya, sedikit mendesah kecewa ketika menyadari lengannya sudah tak berada di tempat terakhir dia meletakkan tangannya. Dan sekarang pun, Reva terlihat masih berwaspada dengan dirinya.

"Jun, lo nggak ngapa-ngapain gue kan?!"

Ya Tuhan.

Juna bangkit dari tidurnya, sedikit merapikan anak rambut yang menghalangi pandangannya. Dia sedikit mendekat, membuat perempuan didepannya harus menahan bahu Juna dengan wajah curiga.

"Lo mau ngapain heh? Jangan ngaco deh, Jun."

"Hahaha," tawa Juna. Pria itu kembali duduk, sedikit memberikan jarak di antara mereka berdua. "Takut banget sih lo? Padahal semalem gue boleh tidur di paha lo."

"Ya enggak! Gue takut gue ga sadar terus–"

"Terus apa coba?" tanya Juna. Dia melihat Reva dengan wajah polosnya. "Gue jebolin lo gitu?"

"Heh!"

Lagi-lagi Juna tertawa melihat respons Reva. Bagaimana tidak, perempuan didepannya justru terlihat menggemaskan dengan wajah awas-nya.

"Iya-iya, lagian lo nggak nyadar apa?"

Reva melotot, lantas menatap lawan bicaranya dengan tatapan garangnya. "Lo ngapain?!"

Juna menyunggingkan senyum miringnya, melihat netra hitam Reva. Dia mencondongkan tubuhnya, membisikkan suatu kalimat pada perempuan di dekatnya. "Coba, di test. Perih nggak waktu jalan?"

Belum ada lima detik setelah kalimat terakhir dari Juna, Reva sudah lebih dulu melompat dari kasur dan menghentakkan kakinya berberapa kali. Dia terlihat masam, kesal tertipu dengan ucapan Juna. Yang ada, kakinya sakit setelah terhentak berkali-kali. Bukan sakit yang seperti Juna maksud kepadanya.

Yang menyaksikan hanya tertawa terbahak-bahak. Dia puas mengerjai Reva yang setengah mati ketakutan karenanya.

"HAHAHA, gila ini lucu banget!"

Juna memegangi perutnya, tertidur akibat tawa puas nya pagi ini.

"Gila ya lo Arjuna! Gue takut ngerti nggak?!"

Twelve Months ; Jeno Ryujin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang