flashback

183 49 11
                                    

Dua bulan sebelum kejadian hari itu.



Juna kewalahan mengikuti langkah perempuan di depannya, yang sama sekali tidak memberikan waktu bagi Juna untuk sekadar menghirup udara.

Ia terus berlari, di antara lautan manusia di tempat itu.

"Reva!" Panggil Juna. Pria itu benar-benar menyerah mengikuti langkah Reva yang bisa dibilang lebih mirip seperti anak kecil.

Yang dipanggil menoleh, menampakkan cengiran khas sambil berhenti dari kegiatan berlarinya. Melihat pria dengan rambut jamurnya yang berantakan, topinya sudah terlepas, terkait rapi di tali selempang tasnya. Kacamatanya sedikit melenceng dari tempatnya, menandakan ia betul kewalahan mengikuti langkah kaki Reva.

"Payah lo, Jun. Masa lari bentar doang udah capek, sih?" Tanya Reva dengan nada mengejek.

Juna menggeleng, lantas menunjuk kerumunan orang di sekitar mereka. "Lo ngapain juga lari-lari di tengah pasar malem, Areva! Inget umur, kasihan anak kecil liatin lo lari-lari tadi hampir kaget tau gak? Gue bahkan susah nyalip orang-orang. Lo enak, kecil, bisa gesit. Gue?" Cerca Juna dengan kalimatnya.

Reva tertawa, "hahaha! Salah siapa ngejar gue sih, Jun?" Tanya dia lagi. Tangannya bergerak, mengusak surai hitam Juna—dibuatnya semakin berantakan dan tidak beraturan. "Uh, Juna kecil capek,bya?"

"Kampret," desis Juna sebagai jawabannya.

Sontak tawa Reva pecah, mendengar umpatan pria di depan nya itu. Dia terlihat jengkel, masih sibuk mengatur napasnya.

"Yaudah, jangan ngambek dong. Main yuk? Baru makan, terus naik bianglala. Call?" Ajak Reva kemudian.

Juna balas menyeringai, "main, makan, naik bianglala, gue temenin, lo yang bayar. Call?"

"Sialan. Balas dendam ya lo?" desis Reva setelahnya.

Sekarang Juna yang tertawa, melihat wajah masam perempuan di depan nya. "Ya lo sih, kaya bocah. Reva bocah banget deh." Lanjutnya.

Sebelum Reva membalas dengan makian, lengan kekar laki-laki itu mendarat di bahunya—merangkul tubuh Reva yang jelas lebih kecil darinya itu.

Merasa diperhatikan Reva, Juna pun berkata, "Ayo, jalan. Gausah berisik. Gue lagi happy, jadi jangan bikin gue misuh-misuh, oke?"

"Dih. Siapa lo nyuruh-nyuruh?" tanya Reva sebagai balasan.

"Gue?" Tanya Juna memastikan. Ia menunduk, melihat perempuan dalam rangkulannya itu mengangguk.

"Pacar lo." Jawab Juna.

Setelahnya, Juna harus mengaduh karena perempuan itu menyikut perutnya. "Ngaco ya lo, Jun. Dalam mimpi. Udah cepetan jalan, gue pengen tembak muka lo pake pistol."

Pria itu memasang tampang melasnya, "gak mau nembak pake hati aja, Rev?"

"Bodoamat! Gue tinggal. Bye."

Reva melepas rangkulan Juna, berlari ke arah stand permainan yang tak jauh dari mereka. Mengharuskan pria itu kembali berlari sebisanya untuk mengejar temannya itu.

"Kepentok apaan sih? Dasar buaya." Gumam Reva sambil berlari menjauh.

***

"Juna, itu ih kenain targetnya dong!"

Juna meringis, merasakan tangan Reva terus meremat lengannya. "Ya kalau lo megangin gue gini, gimana bisa kena, Areva?!" Ucap Juna frustasi.

Yang disebut hanya nyengir, lantas menyingkirkan tangannya dari lengan Juna. "Awas kalau gak kena. Gue suruh lo masuk rumah hantu." Ancam Reva.

Juna tidak menjawab, walaupun di dalam hatinya benar-benar ingin selamat dari ancaman itu. Tangannya mengarahkan pistol mainan dengan peluru tabung berbahan gabus dan karet di ujung nya ke arah target yang ia tuju.

Twelve Months ; Jeno Ryujin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang