time flies

251 53 0
                                    

Krrakk.

"Sorry, gue gak sengaja."

Hans berancang untuk berdiri, hendak menjelaskan apa yang terjadi sebelum pria yang tak jauh dari mereka mengangkat tangannya.

"Nggak usah repot-repot. Gak ada yang perlu lo bicarain, Hans."

Pria itu berbalik, berlalu pergi tanpa mengucap salam apapun. Meninggalkan Hans dalam kalut dan gusar—terjebak dalam kesalahanpahaman.

"Rev, gimana–"

"Apanya yang gimana?" jawab Reva balik bertanya.

Hans menoleh heran, menatap wajah Reva yang sama sekali tidak terganggu atau bahkan khawatir dengan apa yang baru saja terjadi di sana.

"Juna, Rev!"

"Gue sama dia kan gak ada hubungan apa-apa," kata Reva lagi. Perempuan itu meminum lemon tea nya dengan santai sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kenapa lo harus panik?"

Lawan bicara Reva terlihat semakin gusar, tak tenang dalam posisi duduknya. "Gue masalahnya habis ngobrol sesuatu yang penting sama Juna tadi!" balas Hans setengah panik.

Pria itu terlihat berusaha membenahi posisi duduknya, walaupun masih terlihat sangat panik. "Gimana kalau gue dibilang nikung temen sendiri?" lanjut Hans.

"Nikung apaan sih?" tanya Reva frustasi. "Gini ya, Kak. In fact we're nothing more than ex and friend. Juna nggak gitu orangnya, pasti dia gak akan mikir ke mana-mana! Gue kenal Juna." lanjut Reva.

Hans menggeleng, tak ada lagi gerakan tubuh paniknya. Hanya ada tatapan nanar dan kosong dari kedua manik hitamnya. "Gak semua orang lo kenali, Rev ... sekalipun diri lo sendiri."

deg.

Reva terpaku dalam ucapan Hans, membuatnya terdiam di sela kegiatannya. Tatapannya perlahan kembali ke arah netra Hans, melihat wajah yang sulit diartikan tergambar di sana.

"Ayo, pulang."

Perempuan itu tak banyak berbicara, justru lebih dulu berdiri dan mengangguk.

"Buat gue, Juna teman baru gue yang beneran teman, Rev. Selama ini anak kolega ayah bukan atas dasar tulus. Cuan aja isinya. Juna yang gue anggap terbaik, gue suka personality nya juga. Itu kenapa gue panik kayak gini, tapi besok di Jakarta gue beresin," lanjut Hans setelah berdiri di depan Reva, merapikan bajunya sendiri sebelum memandang kedua manik hitam Reva.

"Kenapa nggak sekarang?" tanya Reva. Perempuan itu tak kunjung menggerakkan tubuhnya selain bibirnya untuk berucap. "Katanya berharga? Kok nggak sekarang? Di depan gue sekalian."

Giliran Hans yang terdiam. Bibirnya tak berani untuk mengucap kata lagi.

"Pulang aja, udah malem juga, Kak."

Akhirnya Reva menghela napas dan berbicara, membuat Hans kembali sadar dengan kondisi mereka sekarang. Dan setelahnya, mereka bersama-sama jalan ke pintu keluar dan pulang ke rumah Hans yang diyakini, sedang menjadi kapal pecah dengan perbuatan Jordan dan Hendro yang jelas merayakan kesuksesan hari ini.

Takdir tidak ada yang tahu, bukan?

Bagaimana jika itu saat terakhir kedua pasang netra itu saling memandang?

***

4 months later.

Alunan mendayu lagu terdengar di antara kedua indra pendengaran laki-laki bernama Arjuna. Matahari yang tak terlalu terik, dan deru angin sejuk yang dibiarkan masuk dari pintu geser yang terbuka lebar. Perlahan, gerakan anak rambut Juna mulai tak beraturan—angin semakin kencang—agaknya seolah membawa suatu kabar untuknya pada siang hari ini.

Twelve Months ; Jeno Ryujin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang