pelajaran

358 73 7
                                    

Pukul 15.20 sore, suara motor RX-King milik Juna sudah terdengar di ruang tamu rumahnya itu. Terlihat kesibukan di atas sana, karena Juna tahu ini adalah jadwal rutin penghuni rumah itu.

Parkir kendaraan seperti motor terdapat tepat di bawah bangunan itu. Supaya tidak menghalangi jalan dan sengaja di buat untuk garasi. Tidak heran jika dari bawah, rumah itu terlihat sangat menjulang tinggi. Miniatur gedung pencakar langit, kata warga sekitar.

Juna sesekali menyapa tetangga yang menyapanya. Hari ini sebenarnya dia tidak berminat untuk bersosialisasi dengan warga sekitar, karena dia lebih mementingkan kegiatan favoritenya sekarang.

"Eh, Juna. Ini udah di tunggu Reza loh." ujar Ibu sesampainya Juna terlihat dari ujung anak tangga. Teras rumah itu tidak terlalu besar, justru pekarangannya yang sangat sempit. Hanya ada celah antara rumah dan tembok pembatas—yang isinya seperti daun jeruk atau semacamnya—tak perlu ke pasar untuk membelinya.

"Langsung sekarang, Rez?" tanya Juna. Laki-laki itu masih terlihat dengan jaket denim dan tas gitar yang tersampir di bahunya.

"Lo kalau mau ganti baju dulu atau–"

"Nggak. Sekarang aja. Gue udah sholat jadi sekarang aja," jawab Juna. Pria itu menyalimi tangan Ibu, lantas mengode Reza untuk bergegas. "Pamit dulu, Bu."

"Ini loh, Jun. Kamu kasih ke bu Ning, ya?" jawab Ibu setelahnya. Reza sudah lebih dulu turun—sedikit terburu-buru karena memang mereka di kejar waktu.

"Nggih, Bu."

Juna mengambil tempat makanan—seukuran kotak untuk menyimpan alat perkakas. Seperti biasa, pasti Ibu membawa kan makanan untuk diberikan di sana.

"Ibu masak ini.. soalnya pasti Eno kalau sudah pulang bakal suka..," gumamnya, pelan. "Kamu bawa ya, Jun. Kapan-kapan kalau Eno pulang Ibu suruh makan bareng kalian di sana juga!"

Laki-laki itu terdiam. Tatapannya sulit diartikan oleh Ibu—karena memang itulah Juna, pikir Ibu yang menatap matanya.

"Iya, Bu."

Juna memaksakan senyum tipisnya. Menatap senyum tulus dari Ibu kepadanya.

Akhirnya, ia berpamitan sambil membawa kotak transparan dengan tutup biru itu ke luar rumah. Dia mempercepat langkah kakinya, menuruni anak tangga dengan tergesa.

Bukan perihal ia yang dijerat waktu, ini perihal perih menggores hatinya, lagi.

Hanya perlu dua menit sampai ia bisa menyusul langkah laki-laki yang tingginya tak jauh darinya itu. Dia sama seperti Juna, menyampirkan satu tas ransel hitam di bahu kanannya.

Kaos hitamnya sedikit bergerak, bersamaan dengan anak rambut Juna yang terus mengganggu pandangannya. Sore ini sedikit mendung dengan angin sejuk—sangat aneh karena yang ia tahu, alam memberi sinyal akan hujan dengan hawa gerah yang sangat mengganggu.

Kali ini, tidak. Yah, anggaplah Juna dan Reza diberi hadiah hari ini.

Langkahnya sudah mengimbangi Reza sekarang. Kedua pria itu tidak banyak bicara, hanya menatap jalanan kecil di antara rumah-rumah. Walaupun tidak saling berdekatan, namun besar jalan ini masih kurang dan masih terasa sesak di antara himpitan bangunan.

"Tadi Ibu bahas Eno lagi?"

Reza membuka obrolan sore mereka. Sebentar lagi mereka sampai di lapangan utama milik pemukiman ini. Artinya, sebentar lagi pula mereka sampai di tempat tujuan.

"Iya." jawab Juna seadanya.

Reza tahu, pria itu tidak baik-baik saja setelah mendengar nama 'Eno' dari bibir Ibu.

Twelve Months ; Jeno Ryujin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang