cerita di alun-alun

182 43 3
                                    

Keheningan cukup menyelimuti ketiga perempuan itu. Baik Mika, Julia, atau pun Reva, semuanya diam dan fokus pada kegiatannya masing-masing. Setelah Reva sampai dan membereskan barangnya di rumah Hans dan Mika, mereka semua berencana untuk makan siang bersama sebelum datang lebih dulu di Prambanan.

Panas matahari tak sampai pada mobil besar itu, tak juga mengganggu pemandangan Reva ke luar jendela mobil—tetap diam, bahkan dari kedatangannya di kota ini. Tentu bagi Mika, itu sebuah hal yang mengherankan. Setiap kali ia berkunjung ke Jordan, pasti perempuan di sebelahnya ini dengan cengiran lebar selalu menyambutnya. Biar pun suasana hati Reva buruk, Mika tahu perempuan itu pandai menahan diri.

"Mi, ini kita lunch di Kaliurang? Emang nggak ke jauhan ke Prambanannya?"

Reva memalingkan wajahnya sedikit, melihat ke arah Julia yang sempurna memeluk bangku Mika, menompang dagunya di sisi sebelah kiri kursi penumpang itu.

Rambut nya yang sedikit lebih panjang dari Reva itu jatuh ke arah samping, menutupi wajahnya dari pandangan kecil Reva. Sedangkan Mika justru terdiam dan nampak berpikir—sepertinya apa kata Julia itu benar.

"Loh enggak dong, kan nanti dari Cangkringan kan ada jalannya sendiri ke Prambanan," jawab Mika. Perempuan itu sedikit mengerenyitkan dahinya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Iya deh, bener. Ada jalan pintas kok, iya kan Pak?" tanya Mika pada supir di depan mereka.

Pria paruh baya itu mengangguk, tersenyum tipis dari kaca spion.

"Ohh, ya maaf gue jarang banget ke sini," sahut Julia dengan santai. Perempuan itu mengangguk, lantas kembali mendudukkan dirinya di kursi belakang, memilih untuk memainkan ponselnya tanpa berniat memulai pembicaraan lagi.

Reva hanya ber-oh ria, di dalam hati. Walaupun ia sama sekali tidak tahu tentang Kaliurang, Cangkringan dan Prambanan—oh, tidak. Ia tahu Prambanan karena itu nama candi.

Dan karena Mika tampak tak memulai pembicaraan, Reva memilih untuk membuka ponselnya. Satu getaran yang berbeda dari penanda getar notifikasi aplikasi lain itu cukup membuat dirinya penasaran akan balasan lawan bicaranya di sana.

Ia menunduk, memastikan jarak pandang dan ponselnya cukup dekat—tak ingin Mika melihatnya atau pun Julia, dari bangku belakang.

Perempuan itu membaca baik-baik satu paragraf yang tertulis di sana, lantas tertegun dan menjauhkan ponselnya secara tiba-tiba. Membuat Mika langsung menoleh, melihat keadaan Reva dengan wajah tegangnya.

"Rev? Kamu beneran gapapa?" tanya Mika, pelan.

Reva menggeleng, "gapapa, gue cuman kaget doang kok."

Mika mengangguk, kembali membiarkan perempuan itu sendiri. Pasalnya, dari awal Reva tiba di rumahnya pun, ia nampak gelisah dan terus memeriksa keadaan ponselnya—seolah menunggu pesan dari seseorang. Walaupun itu suatu hal yang asing, namun Mika tak bisa berbuat banyak, bukan? Ia merasa perempuan berambut sebahu itu sedang membutuhkan waktu sendiri, dan itu kenapa ia membawa Reva untuk menyegarkan dirinya di Kaliurang.

Tak mewah restoran yang mereka datangi, bahkan nampaknya lebih cocok disebut café. Yang membuatnya spesial tentu berada di ketinggian yang cukup untuk memberikan hawa dingin dan tenang—jauh dari keramaian jalan tentunya.

Mika akhirnya menghela napas pasrah, bersamaan dengan layar ponselnya yang tiba-tiba menyala, memperlihatkan satu notifikasi di sana.

Mbaran: dekkk, I found somethingg

***

"Ck, lo mampir-mampir dulu ya?"

Si Ahli Listrik itu berdecak sambil menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Sedikit kesal melihat lawan bicaranya justru tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun karena sudah membiarkan dia di bawah sinar matahari, di tengah tanah lapang berpasir dengan sabar sambil menunggu kedatangan pria yang tak lain adalah temannya itu.

Twelve Months ; Jeno Ryujin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang