what's wrong?

206 44 0
                                    

Setelah pergi bersama Mika dan Julia ke salah satu tempat makan yang tak jauh dari hotel Reva berada, perempuan itu memutuskan untuk melempar tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamarnya sendiri. Hari ini adalah hari yang melelahkan baginya, entah mengapa, rasanya sangat lelah bertemu dengan banyak orang. Padahal, seharusnya dia bersenang-senang di kota ini.

Cukup lama bagi Reva untuk menghabiskan waktu dengan deru angin pendingin ruangan yang halus menerpa kulitnya. Reva sudah membersihkan dirinya, atau menyiapkan segala kebutuhan untuk esok hari. Dan yang pasti, dia harus memikirkan di mana dia hendak bermalam besok.

Karena kantor nya tentu hanya memberikan satu malam, bukan? Ini bukan agenda liburan.

Sebelum pusing, Reva mendudukkan dirinya sendiri sambil menatap tubuhnya. Ia melihat kaus putih dengan celana selututnya yang berwarna abu-abu terang itu. Tak lupa, ia ingat betul rambut sebahunya itu kian memanjang, dan dia lupa untuk menguncirnya sekarang.

Dalam kesunyian penginapan kelas atas itu, Reva melempar pandangannya pada balkon kamarnya.

Well, sepertinya angin malam tak akan membuat keadaan menjadi rumit. Maka dari itu, Reva memutuskan untuk membawa dirinya beserta ponsel kesayangannya itu untuk membuka pintu pembatas balkon kamarnya itu.

Setelah dibuka, angin malam langsung menerpa kedua wajahnya. Menyapu anak rambut Reva kebelakang—membuat wanita itu melihat dengan jelas pemandangan kota Jogja di depannya.

Berpegang dengan pagar pembatas dari lantai hotel itu, Reva memandang bentang gelap bertabur bintang di atasnya. Berada di ketinggian seperti itu, cukup mengingatkannya pada bangunan tua bekas landasan helikopter yang ada di Jakarta. Dan benar saja, pemandangan dari sini tak kalah indahnya dengan Jakarta. Terlebih Jogja tidak mempunyai gedung pencakar langit. Jadi yang ia pandang hanyalah gemerlap lampu dan pemandangan gerak cahaya kecil yang berasal dari lampu kendaraan di bawah Reva.

Cukup menghibur, setelah seharian bekerja tanpa melirik sedikitpun pada pemandangan kota Jogja. Dan, mungkin satu hari kedepan adalah saat yang pas untuk melepas penat. Selain menonton Jordan, setidaknya perempuan itu masih bisa melihat pemandangan Candi Prambanan secara langsung, bukan hanya dari internet apalagi buku IPS Yasmin saat SMP dulu.

Cukup baginya untuk memanas manasi mahasiswa akhir kedokteran itu.

Reva menyeringai, berniat untuk menghubungi Yasmin karena ini kali pertama dia dan Reva benar-benar jauh. Selama ini, paling jauh hanyalah Bandung. Dan Yasmin pun tak pernah mempermasalahkan hal itu selagi ia mendapat oleh-oleh dari kakaknya itu.

Sebelum Reva membuka kunci layar ponselnya, satu notifikasi pop up muncul sebagai tanda dering panggilan telepon dari seseorang. Dan benar saja, itu adiknya.

"Yaelah, udah kangen aja," monolog Reva sambil tersenyum kecil. Ia mengangkat ponselnya, mensejajari benda persegi panjang pipih itu di telinganya.

"KAKAK!" Pekik perempuan berumur awal 20-an itu.

"Anjir ... lo kenapa sih, Yas?!" jawab Reva tak kalah kencang. Bahkan ia harus menjauhkan ponselnya sendiri, khawatir adiknya akan berteriak lagi.

"Hehehe."

"Haha hehe haha hehe. Kenapa nelpon? Kan list oleh-olehnya kasih ke Jordan?" tanya Reva to the point.

"Ih apaan banget sih lo, Kak! Gue nelpon murni karena pengen," jawab Yasmin dengan nada kesalnya.

"Yaudah, ada apa emangnya?"

"Ini jam overthinking, terus, pasti lo lagi curi-curi pandang ke langit luar dari kamar," jawab Yasmin dengan bangga. "Payah, kakak gue overthinking nya pasti kambuh kalau jam-jam rawan kayak gini." Lanjutnya bermonolog.

Twelve Months ; Jeno Ryujin ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang