O2

2.2K 340 9
                                    

Haechan terduduk dalam mobilnya. Siku kanannya bersandar pada jendela mobilnya yang terbuka, tangan kanannya memegang sepuntung rokok. Sesekali ia menghisap rokoknya, mengeluarkan kepulan asap dari dalam mulutnya. Netranya terfokus pada sebuah gedung apartment kecil di ujung jalan, menunggu seseorang yang ia cari keluar dari sana.

Ia mengeluarkan secarik foto dari dalam saku jaketnya, menatap sosok di dalam sana lamat-lamat. Senyum yang manis, kulit yang bersih seputih susu, tubuh mungil nan menggemaskan, juga tangan-tangan mungil yang berbakat itu. Sayang sekali ia harus mati dalam keadaan semuda ini, gumam Haechan dalam hati.

"Iri. Faktor orang itu nyuruh kita habisin orang ini adalah karena dia iri. Bisa dibilang dia itu rival dari si Renjun ini. Dia udah lama berprofesi sebagai seniman tapi apresiasi dan feedback yang dia dapet ga pernah sebanyak apa yang si Renjun dapetin, padahal si Renjun ini lebih junior daripada dia," ucapan bos nya kemarin terputar jelas di dalam otak Haechan. Walaupun Haechan bekerja sebagai pembunuh bayaran, bukan berarti ia tak punya hati nurani. Sebenarnya ia paling benci saat ada orang yang menyewanya untuk membunuh seseorang atas dasar rasa iri dengki. Namun apa boleh buat, ia tak mungkin mengkhianati kelompoknya, ia tak ingin menyeret dirinya ke dalam masalah yang lebih besar lagi dengan menjadi pengkhianat di kelompoknya. Sudah beberapa kali ia lihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana bos nya memperlakukan para anggota yang berkhianat. Lagipula ia melakukan hal ini pun bukan karena keinginannya, tapi karena keadaan yang memaksanya menjadi seperti ini.

Haechan menggelengkan kepalanya, berusaha menepis rasa empatinya terhadap sang target. Hal seperti ini tentu akan menghambat pekerjaannya. Ia harus mengusir rasa iba dan rasa kemanusiaannya jauh jauh. Memang inilah konsekuensi dari pekerjaannya bukan?

Haechan tersadar dari lamunannya saat melihat sesosok pria bertubuh mungil dengan tas selempang berjalan keluar dari gedung apartment di ujung jalan. Haechan melirik kembali foto yang ia pegang, memastikan jika pria itulah yang ia cari sejak tadi. Ia segera turun dari mobil dan membuntuti pria mungil yang disebut-sebut bernama Renjun itu. Studio lukis milik Renjun memang berada tidak jauh dari apartment nya, karena itulah dia lebih sering datang ke sana dengan berjalan kaki.

Sebelum mengeksekusi korbannya, Haechan memang biasa memantau pergerakan korbannya terlebih dahulu, menelusuri keseharian dan kebiasaannya selama beberapa hari agar ia bisa memilih teknik yang tepat untuk membunuh korbannya. Hal ini ia lakukan agar bisa mendapatkan timing yang tepat untuk mengekseskusi korban, tentu saja agar jejak bukti tak mudah ditelusuri pihak polisi.

Setelah sekitar 10 menit Haechan berjalan membuntuti Renjun, sampailah mereka pada sebuah gedung yang cukup besar dengan tulisan besar di bagian atas gedungnya "Jun's Art Studio". Haechan menghentikan langkahnya saat Renjun memasuki gedung itu. Kini Haechan hanya tinggal harus menunggu Renjun keluar dari gedung itu untuk mengetahui waktu pastinya kapan ia selesai bekerja.

Haechan memutuskan untuk menunggu di sebuah kafe yang berada tepat di depan gedung studio lukis milik Renjun. Ia sengaja memilih tempat duduk tepat di dekat jendela depan toko agar ia bisa melohat jelas ke arah pintu masuk gedung studio lukis Renjun.

Hari mulai gelap, matahari mulai bersiap meninggalkan singgasananya untuk bertukar peran dengan sang rembulan. Haechan masih setia duduk di tempatnya, menunggu Renjun keluar dari gedung.

Sudah hampir tengah malam, namun belum juga ada tanda tanda Renjun akan meninggalkan gedung tersebut. Kafe yang sedari tadi ia tempati pun sudah mulai sepi dan para karyawan terlihat sedang bersiap-siap untuk menutup kafe tersebut. Dengan terpaksa Haechan akhirnya keluar meninggalkan kafe itu. Terbersit pikiran untuk membawa dulu mobilnya ke sini agar ia bisa menunggu di dalam mobil, namun urung saat melihat lampu dari Jun's Art Studio mulai dimatikan satu persatu. Mulai dari lampu di ruangan lantai empat, tiga, dua, sampai akhirnya hanya menyisakan satu lantai dengan lampu yang masih menyala.

Haechan berpikir mungkin Renjun sedang bersiap untuk pulang. Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu di depan kafe tadi, dengan badannya yang sedikit ia sembunyikan di balik pohon. Ternyata dugaannya benar, selang beberapa menit ia melihat Renjun keluar dari gedungnya. Namun tak seperti dugaaannya, Renjun tidak berjalan menuju apartment nya, ia malah berbelok ke arah lain.

Tubuh Renjun berjalan semakin menjauh. Minimnya pencahayaan pada malam hari membuat tubuh mungil Renjun yang berbalut kaus hitam itu sulit untuk dilihat. Haechan berjalan menyebrangi jalan dengan tergesa, tanpa ia sadari ada sebuah motor melaju dari arah kanan dengan kecepatan tinggi. Motor itu menghantam tubuh Haechan, membuatnya terpental ke belakang beberapa kaki dari tempat ia berdiri.

Haechan tak bisa merasakan tubuhnya, pandangannya mulai memburam, pun kesadarannya kian menipis. Hal terakhir yang ia ingat adalah suara teriakan dari seorang pria dan suara derap langkah yang mendekat.

"WOY JANGAN KABUR BANGSAT!!"

camaraderie | hyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang